Protected by Copyscape Unique Content Check

Jumat, 23 Juli 2010

Jangan Mabuk Sebelum Mati

Oleh: Disa Tannos

04:00- Pemilik Toko

KRIIIINGGG! KRIIIINGGG!


“Aduuuuh siapa sih menelepon toko jam segini?!”


KRIIIINGGG!


“IYA IYA! Halo?”


“Ha..lo?”


“Iya, siapa ini?”


“Sa.. saya.. mau pesan peti mati..”


“Kok subuh-subuh gini, Mas? Ini dengan siapa ya?”


“Saya Sandy..”


“Mas Sandy mau pesan peti mati untuk siapa mas?”


“Untuk.. saya sendiri..”


“HAH?!”



03:45- Sandy

Aduh, kepalaku. Mana motor sialan itu? Baru saja aku akan menyeberang jalan, tiba-tiba ada pengendara tak tahu diri yang menyetir dengan kecepatan entah berapa. Mentang-mentang sudah subuh dan jalanan sudah sepi. Mana sempat aku lari? Aku pun sedang mabuk tadi.


Eh, tunggu dulu. Dimana aku ini? Tadi tempatku tertabrak bukan di tengah-tengah padang ilalang begini! Padang ini luas sekali. Tapi bagaimana aku bisa sampai ke sini? Tunggu. Tadi aku memang merasa seperti sedang melayang.


ASTAGA! Aku pasti sudah mati. Ya ampun, aku sudah mati! Tadi aku pasti terbang meninggalkan jasadku. Tapi dimana dia sekarang? Dimana jasadku? Pasti pengendara motor tak tahu diri itu meninggalkannya di tengah jalan tadi. Aduuuuh, ringan sekali. Apa begini rasanya roh kehilangan badan? Seperti sedang mabuk? Aku tak mungkin jalan sekarang. Tapi kenapa aku tak bisa terbang ya? Mungkin karena aku sudah sampai tujuan.


Lalu bagaimana aku menghubungi Mila istriku? Eh, telepon genggamku masih ada disini. Pasti Tuhan ingin dia tahu. Tidak, tidak mungkin. Aku tidak mungkin meneleponnya, ia pasti ketakutan. Aaah, aku tahu. Sepertinya aku masih menyimpan nomor telepon tempat pemesanan peti mati waktu ibu meninggal dulu. Aku pesan saja, biar mereka menghubungi Mila, lalu ia akan mencari jasadku. Ya, betul.



04:30- Mila

“Ja.. Jadi.. Suami saya beneran sudah meninggal?”


Meski awalnya tak percaya, akhirnya air mata Mila tumpah juga. Baru saja pria dari toko itu meneleponnya, memberi kabar yang aneh tapi nyata. Suaminya baru saja memesan peti mati untuk dirinya sendiri. Ah, Sandy. Kamu memang pemabuk dan mata keranjang, tapi kamu tetap suamiku yang sangat aku sayang. Lalu sekarang aku harus bagaimana? Dimana jasadmu, Sayangku?


Mila bersiap-siap secepat mungkin. Ia memutuskan pergi ke kantor polisi. Biar polisi yang membantunya mencari jasad Sandy. Pikirannya betul-betul kacau. Ia masih tak habis pikir; baru saja tadi ia ketiduran di sofa ruang tengah menunggu suaminya itu pulang ke rumah, yang datang malah berita aneh yang menyedihkan. Tepat pukul lima pagi, Mila siap berangkat.


TING TONG!


Tiba-tiba bel pintu berbunyi. Aduh, ada apa lagi ini? Siapa juga yang mau bertamu jam lima pagi? Mila membuka pintu dengan jantung berdebar-debar. Dan..


LHO?!”



04.15- Sandy

“Permisi Pak..” sapa sebuah suara di belakang Sandy.


Lho, Bapak-Bapak ini siapa? Kok ada disini? Sudah mati juga ya? Nah kamu, ngapain di sini? Kamu kan yang tadi nabrak saya!”


“Hah? Mati? Bapak ini ngomong apa sih?”


“Iya, mati! Saya kan sudah mati, saya baru saja pesan peti mati buat saya sendiri.. Lho kenapa malah pada lihat-lihatan? Ini ada apa sih sebenarnya?”


“Pak, yang mati itu siapa? Kami ini polisi, tadi orang ini datang ke kantor polisi menyerahkan diri, katanya dia baru saja melakukan tabrak lari. Karena ketakutan, sebelum pergi ia memindahkan tubuh Bapak kesini, karena sepertinya Bapak tidak sadarkan diri.”


Jadi yang tadi terasa seperti sedang melayang itu..


“Jadi saya masih hidup? Belum mati?”


“Bapak ini ada-ada saja. Ya belum, Pak.. Coba dipegang dadanya.. Jantungnya masih berdetak kan?”


Sandy hanya bisa tertawa malu, membayangkan istrinya menertawakannya sampai puas.



05.00- Mila, Sandy, dan Polisi

“Begini Bu, kami mengantar suami Ibu pulang, tadi kami menemukannya di padang rumput dekat jalan Kenanga,” kata pria berseragam coklat itu. Di belakangnya ada Sandy, suaminya, dengan baju compang-camping dan kepala tertunduk. Mila lega, tapi juga semakin bingung.


“Ja.. jadi kamu belum mati, Mas? Masih hidup? Tapi kok tadi..”


“Iya, aku.. aku kira tadi aku sudah mati, habis kan yaaa..enggg… kamu tau sendiri tadi aku.. kebanyakan minum..”


Mila tak kuasa menahan tawa, hingga keluar lagi air matanya.


“Hahahahahahahah.. Aduh Maaaas.. Makanya sebelum mati jangan mabuk dulu! Sudah, ayo masuk!”


“Kalau begitu kami kembali ke kantor, permisi Pak, Bu,” pria-pria berseragam itu berpamitan pada Mila dan Sandy, sebelum masuk ke mobil dan mengeluarkan tawa terbahak-bahak yang sejak tadi ditahan.


Paginya bisa ditebak. Suasana di kantor polisi menjadi ramai, ceria, dan penuh derai tawa. Demikian juga dengan toko peti mati yang baru menerima pembatalan pemesanan. Semuanya berkat sebuah berita tentang seorang pria mabuk yang memesan peti mati untuk dirinya sendiri.

***


Disadur dari:

Fiksimini RT @eka_nugraha: Ia mengira dirinya sudah mati, baru saja dia memesan peti mati.

Selasa, 13 Juli 2010

SUMPAH

By : Lariza Oky Adisty

Hari ini...

“KEBAKARAAAAN!”

***

Enam bulan lalu, di sebuah kelas.

“Joni! Dari tadi Ibu perhatikan kamu tidur saja di belakang!” hardik Bu Elma. Joni, siswa jangkung dengan rambut jabrik acak-acakan itu hanya menatap kosong ke arah papan tulis sambil menyembunyikan kuap yang tertahan akibat bentakan ganas Bu Elma. “Sekarang, kamu pergi ke kamar mandi dan cuci muka kamu! Saya tidak mau lihat kamu mengantuk lagi!”

Dengan malas, Joni bangkit dari bangku dan melangkah keluar dengan ayunan kaki gontai. Mata Bu Elma nanar mengikuti langkah Joni, disaksikan puluhan pasang mata lain yang menahan napas. “Heran, sudah mau ujian kok masih saja main-main. Ingat ya, kalian semua sudah kelas 3. Harus serius kalau mau lulus! Bilang juga sama si Joni itu!” tutur Bu Elma sebelum melanjutkan pembahasan tentang kalimat majemuk bertingkat.

***

Setelah kelas bubar, Joni dan kawan-kawan akrabnya Rio, Gilang dan Randy menyempatkan diri mampir ke sebuah supermarket merangkap kedai kecil dekat sekolah. “Bangke dah si Elma. Bacot,” cetus Joni sambil merengut kesal, teringat sikap Bu Elma yang menegurnya setelah tertidur tadi. Yang membuat Joni kesal bukan karena dia malu, tapi dia paling benci kalau ada yang mengganggu tidurnya!

“Hahaha, emang diapain lo lay ama si ‘tonggos’?” tanya Rio.

“Sialan! Gue lagi enak-enak tidur, malah dibangunin! Pengen gue cocor tuh giginya,” tukas Joni, jemarinya memutar-mutar punting rokok yang baru dibakar.

“Gue kalo udah begini, yang penting lulus aja dah. Bodo amat mo dapat nilai berapa juga. Bosen, guru-guru itu bukannya makin baik malah makin banyak tingkah.” timpal Gilang. “Gue mah dari awal udah nyesel masuk tuh sekolahan, sejak tau guru-gurunya pada ngehe begitu, tapi mau pindah kagak dikasih. Nasib deh.”

“Apalagi si Dalman noh. Korupsinya kagak nanggung-nanggung! Duit pelantikan ekskul diembat semua ama dia, kuya nggak tuh?”

“Tau! Eh udah gitu ya, anaknya yang di IPA 2, bajunya dikeluar-keluarin kagak ada guru yang protes!” timpal Randy bersemangat lalu melanjutkan “Nih ya, gue dulu pas kelas 1 sekelas sama anaknya yang cewek itu. Nah, waktu itu ada anak kelas gue namanya Lia, baru ngewarnain rambut langsung disidang. Pas anaknya si Dalman kayak gitu, kagak diapa-apain. Ngehe kan tuh!”

“Sama aja bego-nya semua. Gak hanya si Dalman. Elma, Sukri, Nia, pada ngehe semua. Guru-guru kelas 3 gue kirain bakal baik gitu ya, tau-taunya pada ganas semua. Kalo udah kelas tiga, udah sih nyantai aja orang murid-muridnya udah gede juga.” cerocos Gilang panjang lebar.

Joni memperhatikan obrolan ketiga sahabat kentalnya tersebut. Cerita-cerita tersebut sebenarnya bukan hal baru untuknya. Sudah sering ia memperhatikan sekolah yang tidak ubahnya neraka baginya itu. Joni ingat sekali saat Pak Dalman, wakil kepala sekolah merangkap “musuh publik” sekolah, mempermalukan dirinya sebagai kapten tim futsal SMA di upacara bendera, setelah seminggu sebelumnya Joni menyerahkan proposal permohonan dana untuk mengikuti turnamen antar sekolah dan langsung ditolak mentah-mentah. Joni ingat sekali kata-kata Pak Dalman waktu itu: “Saya rasa kegiatan non-akademis seperti futsal hanya akan menghalangi kelancaran studi, jadi sebaiknya kegiatan futsal harap dikurangi. Terutama kaptennya itu, si... Joni! Rambutnya bahkan sudah tidak terurus gara-gara terlalu sibuk mengurusi hal-hal yang tidak penting, dan nilai-nilainya juga berantakan! Janganlah meniru yang seperti itu!” Alangkah geramnya Joni. Ia memang tidak pernah menjadi juara kelas atau mendapat rangking 10 besar di sekolahnya, tapi ia tidak bodoh dan nilai-nilainya pun jauh dari kata ‘berantakan’. Sama sekali tidak ada alasan bagi Pak Dalman untuk mempermalukan dirinya di depan seluruh sekolah. Apalagi ia tahu alasan Pak Dalman menolak itu tidak logis dan tidak adil; Pak Dalman adalah pembimbing ekskul basket di sekolah Joni dan beliau selalu menyetujui proposal permohonan dana yang diajukan oleh pengurus ekskul basket. Guru-guru lain juga setali tiga uang; menganggap bahwa Joni bukanlah seorang siswa yang punya prestasi membanggakan, dan selalu menganggap Joni itu pembangkang karena sering mengkritisi isi pelajaran yang diberikan. Padahal Joni berani mengkritik karena ia sudah memahami materi tersebut lebih dulu. Sayang, guru-guru Joni tak paham akan hal itu. Mereka terlalu tinggi hati untuk mendengarkan suara seorang Joni, dan jadilah Joni menjadi salah satu ‘bandit’ di mata para guru.

Tanpa sadar Joni meremas kaleng kopi instan dalam genggamannya. “Gue janji kalo gue lulus nanti, tuh sekolah bakal gue acak-acak.” gumamnya lirih hingga tak satupun temannya mendengar.

***

Hari ini...

“Joni my maaaaan! Lulus kita, nyeeet!” teriakan Gilang membahana di sepanjang koridor, membuat siswa-siswa lain terhenyak kaget. Joni tak menjawab; ia langsung merangkul sahabatnya itu.

“Gimana nilai? Mantap?” sambung Gilang.

“Lumayanlah, tinggal berharap dapet kampus yang gue mau aja nih,” jawab Joni singkat. Ia sudah mengikuti serangkaian tes masuk perguruan tinggi dan tinggal menunggu pengumuman saja. Kini di tangan Joni pun sudah tergenggam ijazah kelulusan yang lama ia nanti-nantikan.

“Eh Jon, ngumpul sama anak-anak nggak lo?” tanya Gilang sambil membaca pesan singkat di ponselnya.

“Lo duluan aja, nanti gue nyusul.” jawab Joni singkat. Ada sesuatu yang harus dilakukannya. Mewujudkan sumpahnya.

***

Joni duduk di bangku paling belakang ruangan kelasnya sambil mengisap rokok favoritnya. Tangannya menggenggam erat sebuah botol air mineral berisi cairan pekat berbau tajam yang dibelinya di pinggir jalan. Sambil tersenyum, Joni bangkit sambil membuka tutup botol itu. Dengan santai, Joni menuangkan cairan didalamnya ke lantai sampai ludes. Tak ada yang menyadari apa yang sedang terjadi karena semua temannya sudah pulang dan guru-guru sedang berkumpul di lantai dua.

Setelah cairan itu tertuang, Joni menyulut kembali rokok di bibirnya. “Thanks for making these past three years like hell for me, Bastardo,” bisik Joni puas. Kalau hitung-hitungannya tepat, para guru baru akan menyadari perbuatannya dalam 7-10 menit, dimana ia pasti sudah pergi jauh dari sini. Sambil berjalan keluar, ia melemparkan batang rokoknya ke lantai yang tergenang bensin.


Disadur dari:


@fiksimini: RT @lariza_adisty: Lulus ujian, Joni mewujudkan sumpahnya. Membakar sekolah.

Minggu, 11 Juli 2010

Hikayat Si Telat

By : Keenan Timotius

“Nama kamu?” tanya seorang petugas pada sang pencopet. “Telat pak..” jawabnya cepat. “Baiklah kalau begitu. Kita tunda pemeriksaan ini sampai nama kamu datang!”

***

Kejadian tersebut adalah pengalaman kesekian yang membuatku kesal. Apakah tingkat kedisiplinan orang Indonesia sudah sangat parah, sampai-sampai nama saja bisa terlambat datang? Ah! Kutendang botol minuman yang ada di dekatku.

Dari kecil aku selalu mendapat didikan agar menghargai waktu dan orang lain. Salah satu caranya adalah dengan tepat waktu, baik dalam pengerjaan tugas maupun soal kehadiran, apalagi soal JANJI!! Orang tuaku sangat ketat untuk hal-hal seperti ini.

Sejauh ini aku hampir selalu bisa mengemban amanah di atas dan kadang-kadang kesuksesan itu membuatku sombong. Menganggap remeh orang lain, terutama yang suka telat. Dari masa sekolah, kuliah, sampai bekerja sekarang pun perasaan itu masih sering muncul.

Aku juga sering geram melihat teman-temanku yang terlambat, dalam hal apapun itu. Rasanya ingin sekali menjitak kepala mereka dan mendampratnya habis-habisan. Yang lebih menyebalkan lagi kalau berjanji tapi telat dipenuhi. Janji bertemu jam sekian, datangnya 2 jam kemudian. Janji tugasnya kelar besok, eh besoknya minta tambahan waktu lagi. Paling parahnya adalah ketika orang yang berjanji sama sekali lupa akan janjinya. Biasanya kasus seperti ini berakhir dengan pemutusan hubungan secara sepihak alias tidak berteman lagi.

***

Logika yang menjadi senjata andalanku adalah ‘telat itu mengganggu segala sesuatu.’ Pekerjaan A yang seharusnya bisa selesai cepat jadi lambat. Rencana jalan-jalan bersama yang seyogianya santai jadi serba buru-buru. Masih banyak contoh yang lain dan aku jamin itu semua merugikan!

Kalau dipikir-pikir, banyak loh alibi untuk keterlambatan seseorang. Alasan yang sangat mendesak, bencana yang tidak bisa dihindari, sampai alasan yang berupa hasil karangan kilat + bumbu senyum selebar mungkin.

Ada juga orang-orang yang kecanduan telat. Aku lebih heran sekaligus geram melihat manusia tipe ini. Mungkin penyakit ini bisa merajalela karena sanksi yang diterapkan tidak tegas.

Sifat yang paling mencolok dari para pecandu telat adalah selalu bersikap seakan dia sudah menyesal sekali, tapi besok diulangi lagi. Dia tidak pernah sadar bahwa kesalahannya itu punya dampak yang sangat besar buat orang lain.

Seorang teman kuliahku dulu adalah pecandu telat. Saking parahnya, sampai ada lelucon khusus tentang kebiasaannya itu. Kalau nanti dia melamar pekerjaan, bayangannya sudah ikut wawancara, badannya masih gosok gigi di rumah.

Aku merasa lebih nyaman setelah masuk dunia kerja karena lingkungan dan orang-orangnya sudah profesional. Tapi ketika kembali ke rumah, muka terlipat dan hati mendongkol kembali menjadi menu utama sehari-hari. Oleh karena itu aku agak malas nimbrung di kegiatan RT/RW tempat tinggalku.

Telat membuat proses segalanya jadi rumit, susah, dan tertunda-tunda. Telat sangat mungkin jadi penyebab timbulnya konflik baru atau hilangnya kepercayaan. Walaupun ada juga orang yang mensyukuri telat, khususnya orang yang sudah sekarat. Dia berdoa supaya malaikat maut tersesat sehingga telat mencabut nyawanya. Ada-ada saja, pikirku.

***

Dari sekian banyak pengalaman mengesalkan, aku memilih untuk bercerita tentang pengalaman yang ini saja. Waktu itu aku baru keluar dari supermarket menenteng belanjaan menuju mobilku. Aku tidak sadar bahwa ada yang mengikutiku, apalagi keadaan tempat parkir pagi itu ramai sekali. Dengan santai kuhampiri bagasi, meletakkan belanjaan, dan saat merogoh kantong belakang celana untuk mengambil kunci mobil, aku baru sadar kalau dompetku sudah raib.

Kulirik ke kiri ke kanan, melihat siapa yang kira-kira mencurigakan, dan.....disana! seorang anak remaja tergesa-gesa melewati kerumunan orang. Dia melihat sekilas ke belakang dan menatapku. Seketika itu juga dia berlari cepat menerobos orang banyak.

Aku berteriak, “COPET!” sambil menunjuk anak itu. Spontan saja banyak yang panik, tapi beruntung ada satpam yang tanggap dan langsung mengejar ke arah yang kumaksud. Aku mengikuti si satpam berlari dan tidak lama kemudian pencopet itu tertangkap.

Sampai di kantor polisi, aku dimintai keterangan sekaligus mengembalikan dompetku yang dicopet. Aku tidak segera pulang setelah semua urusan selesai, karena aku penasaran ingin melihat sendiri apa yang akan diperbuat polisi pada anak ini. Yah! Bagaimanapun dia masih remaja yang mungkin terpaksa jadi pencopet.

Petugas di ruangan itu tidak keberatan dengan permintaanku menyaksikan proses pemeriksaan. Aku pun sudah tidak sabar untuk mendengar cerita pencopet cilik ini. Tapi baru satu pertanyaan yang diajukan, perutku sudah terasa mual dan tanganku gatal ingin memukul.

Bagaimana mungkin namanya bisa telat? Namanya memang si “Telat” atau dia tidak mau mengaku atau bagaimana?!? Emosiku sudah siap menyembur, tapi aku berhasil menahan diri & memilih keluar ruangan.

Rasa iba yang sempat muncul tadi sudah rusak gara-gara jawaban singkat yang menurutku SANGAT TOLOL! Sesaat kemudian, aku merasa dia harusnya mendapat bogem matang dulu dari orang-orang di tempat parkir supermarket tadi.

Aku berusaha menenangkan diri didalam mobil. Mau kapan majunya Indonesia kalau begini??? “Benar-benar zaman EDAAANNNN!!!” teriakku sekeras-kerasnya....

***

Kalau si telat ingin menebus dosanya padaku, ada 1 cara yang mungkin dilakukannya. Ketika nanti Tuhan memerintahkan malaikat-Nya memulai proses kiamat dunia, aku harap si telat yang datang lebih dulu membawa surat perintah-Nya dan mengumumkan ke seluruh penjuru bumi. Saat itulah aku akan berdamai dengan telat. Pada akhir segala sesuatu.

Mudah-mudahan saja si telat datang tepat waktu. Masa dia mau mengecewakan Tuhan juga??? Biarlah! Tempatnya memang di neraka!


***Selesai***

Disadur dari:





fiksimini RT @Nathan_Arieezz telat datang tepat waktu. Ia membawa surat perintah kiamat dunia dari Tuhan.

fiksimini RT @Nathan_Arieezz "Nama kamu siapa?" "Telat, pak." "Kalau begitu, kita tunda dulu sampai nama kamu datang."

fiksimini RT @Nathan_Arieezz "Teman saya sudah datang." "Mana?" "Kenalkan. Ini bayangannya, tubuhnya menyusul."

Senin, 05 Juli 2010

Surat Tua berwarna Pink (part 1)

oleh: Elna Sinaga

Senja temaram, matahari hampir tenggelam. Suasana begitu teduh & pasir terasa lembut di kaki Dodi. Dia memandang ke sekitar. Tak ada yang berubah. Pantai itu masih saja indah dan tak terjamah. Menawarkan kedamaian, sendu, dan hening. Sore itu Dodi memang memutuskan mengunjungi Pantai Krakal. Tanpa sadar, kenangan demi kenangan mengalir, menyeruak membawanya kembali 2 tahun ke belakang. Kepada Intan. Dodi rindu nama itu.

***

Acara kelulusan angkatan 2003 diadakan di Pantai Krakal. Dodi adalah ketua panitianya. Intan juga hadir di sana. Dodi sering diam diam mengamatinya dan selalu berharap menemukan momen yang tepat untuk mereka berdua bercengkerama.

"Dodi!"

"Ooh..!" Dodi tergagap. Dewi, sahabatnya yang juga teman dekat Intan, memanggil.

"Kamu melamun? Intan lagi?"
"iya Wi, sepertinya kami memang tidak jodoh."
"Bagaimana mau jodoh, mendekat saja kamu tidak pernah."
"Aku malu Wi..."

Dewi menghela nafas panjang sambil berkata, "Pantai Krakal adalah kesempatan terakhirmu.." Ia kemudian berlalu meninggalkan Dodi yang masih termangu.

***

Di malam yang panjang, segerombolan mahasiswa masih terjaga di tepi Pantai Krakal. Dodi masih terus mencuri pandang ke arah Intan. Didesak perasaan yang kuat dan sadar bahwa hanya ini kesempatannya, Dodi berjalan menghampiri.

"Intan, ngobrol yuk".

Mereka lalu berjalan beriringan ke arah pantai. Sementara itu, Dewi memandangi dari kejauhan. Setelah satu jam berlalu, mereka hanya duduk berdua di tepi pantai dan hanya satu kalimat yang mampu diucapkan Dodi.

"Kamu cantik pakai baju pink ini."

Intan hanya membisu.


Dan di pantai inilah Dodi sekarang. Masih terbayang senyum manis Intan. Mengapa dia diam? Mengapa dia berlalu begitu saja saat itu??

***

Di rumah Dodi, di sudut sebuah lemari tergeletak sebuah surat tua berwarna pink. Dewi membukanya sekali lagi dan membacanya, lalu ia tersenyum kecil.

"Dodi tidak boleh tahu surat ini." gumam Dewi.


-BERSAMBUNG-





Disadur dari:

fiksimini RT @ratihprsari: Surat tak penting itu masih tersimpan di sudut lemari. Sesekali ia tertawa saat membacanya. Tapi tetap saja suaminya tak boleh tahu.

Sabtu, 03 Juli 2010

MONDEL

by Rudolph Cahay

Prang…! Ini cermin yang kesekian kalinya ia pecahkan setelah empat kali operasi wajah. Hartanya hampir ludes. Jika dihitung, kekayaan Dina hanya cukup untuk biaya dua operasi lagi.

***

Doni datang dengan wajah ditekuk. Ia berdiri beku di depan Dina. Matanya sembab, rambutnya acak-acakan terpantul pada pecahan kaca yang berserakan.
Tabloid yang digapit di ketiaknya terjatuh.

Dina melihat sekilas sampulnya. Ternyata sebuah tabloid sinetron. Dina mendadak menyesal telah melihatnya.

“Sepertinya kamu tak pernah menyerah ya..?” cibirnya.


Doni segera memungut tabloid itu dan menggepitnya kembali, “Sudahlah, lupakan!”

“Coba lihat!”.

Rasa ingin tahu Dina tiba-tiba menyeruak.

“Ini kan yang kamu maksud?”
Dina menunjuk bagian bawah sampul. Ada iklan
open casting sebuah sinetron stripping disana. Membutuhkan beberapa figuran dan dua orang pendamping tokoh utama.

Sorot mata Doni membenarkan pertanyaan Dina, yang perlahan diikuti oleh anggukan.

“Sekarang sudah tidak mungkin lagi”
Nafas Dina terjun bebas, menghela pasrah. Seolah berniat menjadikannya penyapu masalah.

Ia menatap lama tabloid di depannya. Dengan perlahan, ia mulai membuka lembarannya untuk mencari detil informasi
open casting tersebut. Tak lama, ia menemukannya lalu membaca tiap kalimat dengan saksama. Sambil komat-kamit, perlahan ia terduduk.

“Kenapa nggak kita coba”, gumaman Dina nyaris tak terdengar.

Meski pelan, Doni dapat mendengar itu. Sebuah harapan baru tersembul di hatinya.

Dina langsung meninggalkannya & masuk ke kamar.
Tak sampai sepuluh menit, Dina keluar lagi memakai busana yang rapi. Sapuan tipis di wajahnya memang tak mampu menutupi tiga sayatan di pipinya.

Kenangan dari kecelakaan pesawat terbang itu sudah menjadi bagian sejarah hidupnya. Sesuatu yang tidak perlu diungkit-ungkit lagi.


***

“Sepertinya wajah Anda tidak asing ya? Oh, kenapa itu?”

Pertanyaan ini sudah diduga. Spontan Dina mengelus tiga luka kembar di pipi kanannya.

“Tunggu sebentar.. Anda Dina Laturitarty?”
“I…iya..”
“Kecelakaan di Juanda itu ya..?”
Dina mengangguk
“Ehm.. gimana ya…?”
Sudahlah, kalau memang hanya berbelas kasihan, mending tidak usah bah bih buh. Toh, di akhir jawabannya jelas, TIDAK!

“Ehm… kami belum memutuskan di sinetron ini ada bagian yang menggunakan tokoh hantu atau korban kecelakaan sih..”
BEDEBAH!!!

“Terima kasih buat waktunya Mas, saya permisi!”, sentak Dina.

Doni yang dari tadi cuma mengamati di sudut ruangan, terkejut dengan kata-kata yang tiba-tiba menyembur dari mulut Dina.

“Sebentar…! saya sedang mempelajari peluang”, kata sutradara.
“Sudahlah, Mas!”

Dina melempar tabloid SINETRON yang dari tadi digenggamnya. Ia segera meluncur. Hadangan Doni tak mampu membendungnya. Ia melesat keluar.

“Ehm…Mbak Dina…!”. Teriakan sutradara tak menghentikan langkah Dina.

***

“Dina…!”
Tak ada sahutan dari dalam kamar.
“Jelaskan dulu ada apa, Dina?”
Pertanyaan bodoh. Sudah jelas kan masalahnya apa?!

“Gimana?” Tiba-tiba Anton muncul.
“Sutradara menolaknya”, jawab Doni sambil mengangkat kedua bahunya.
“Dina… semua akan baik-baik saja. Kita bisa atur strategi lagi”, rayu Anton dengan mendekatkan bibirnya di pintu.
Tak ada jawaban.
“Ton, tolong! Jangan-jangan dia bunuh diri!”, nada Doni mulai meninggi sambil mengguncang kedua bahu Anton.
“Nggak akan, Bro. Itu bukan style-nya Dina. Santai, semua akan baik-baik saja. Biar aku urus”. Anton memang lebih mengenal Dina, meski Doni adalah orang yang selalu ada di sampingnya.
Anton segera berlalu. Sementara Doni seperti tercekat. Ingin berteriak memanggil Anton, tapi seperti ada keengganan yang mencegahnya.

***

“Halo…!”, dengan enggan Dina mengangkat telepon.
“Mbak Dina, ini Rudi Sudarko. Inget?”
Dina menghela nafas lagi. “Aku tak butuh belas kasihan”, gumamnya.
“Bukan itu maksudnya, Mbak. Saya hanya peduli dengan bakat, bukan wajah. Tentu saja saya lebih suka memoles sinetronnya. Tidak harus mengubah aktornya”.

Dina masih bingung dengan penjelasan si sutradara.

“Mbak Dina mengilhami saya untuk menciptakan…ehm..” diam sejenak “
Mondel!”, lanjut si sutradara.

“Model?” desis Dina.

“Bukan model.
Mondel, Mbak. Kita akan bikin sekolah mondel. Kita mewadahi setiap bakat istimewa, tidak peduli bagaimanapun kondisinya. Kebutuhan baru diciptakan setelah kita tahu bagaimana kondisi orang tersebut. Kita akan carikan peluang peran yang paling sesuai. Jadi tidak membunuh bakatnya hanya karena kekurangan fisik saja. Peran yang mungkin bisa diberikan juga beragam. Yang penting masih di dunia hiburan. Mereka bisa jadi model, aktor atau aktris, bintang iklan dan lain-lain. Tetapi kita tetap menyebut mereka dengan Mondel. Saya menawari Anda menjadi pengelolanya. Istilahnya, sebagai kepala sekolah pertama untuk sekolah Mondel kita”

Dalam bingung, Dina merasakan siluet harapan.

“Gimana kalau kita ketemu sore ini?”
“Baiklah.” sahut Dina.
“Sebentar! Dari mana Anda mengetahui nomor hp saya?”
“Nanti saya jelaskan semuanya. Sampai ketemu ya”.
Klik, telepon ditutup.

***

Di ruangan yang sama ketika wawancara kemarin, Dina terkejut melihat Anton duduk di samping si sutradara.
“Kok kamu di sini?”

Anton tidak menjawab. Hanya memberi isyarat Dina dan Doni untuk duduk.

“Rudi Sudarko adalah papaku. Aku banyak cerita tentang kamu, bakatmu, semangatmu yang tak kenal menyerah. Tentu saja tidak ketinggalan sifat keras kepala dan gengsimu yang tinggi”, Anton berusaha mengerem tawanya yang hampir lepas.


“Jadi selama ini yang membuat skenario ini kamu?”
“Bukan, hanya kali ini saja. Asal kamu tahu, semua ide yang aku berikan lewat Doni, itu semua dari aku."

“Ok. Kita akan bikin rencana strategisnya. Dan tentu saja kita bikin kontrak dulu”, Pak Rudi memotong percakapan mereka.

Kontrak sudah dibuat. Dengan demikian, Dina resmi berhenti menjadi model dan mulai menapaki dunia baru sebagai pengelola sekolah Mondel.

***

Minggu sore di sebuah café, Doni, Dina, Rudi Sudarko dan Anton bertemu.

“Begini Dina. Semua yang diceritakan tentang kamu oleh Anton, berujung pada permintaan. Sekaranglah saat yang tepat. Anton ingin melamarmu. Tepatnya, saya ingin melamarmu buat Anton”


Dada Dina berdetak kencang. Dunia seperti remang-remang dengan terang dan gelap berkeliaran di matanya. Sesekali dia menatap wajah Doni yang layu dan terlihat pasrah. Wajah itu mendatangkan iba yang dalam. Sementara wajah Anton menunggu dengan keagungan yang menawan.

Ternyata jalan keluar ini mengantarkan Dina pada dua pintu. Apakah Dina akan membuka pintu megah bertuliskan Anton, atau pintu bersahaja yang bertuliskan Doni?

Anda saja yang menjawabnya.....




Disadur dari:

@fiksimini RT @rudicahyo: dia berhenti jadi model setelah wajahnya dibubarkan secara resmi oleh kecelakaan pesawat terbang. (30 Juni 2010)