Protected by Copyscape Unique Content Check

Selasa, 17 Agustus 2010

DIALOG



by : Bintang Pradipta

Aku sudah di atas tiang. Gugupku sudah mulai berkurang. Rinduku pada tiang pun telah terobati.

“Selamat pagi, Bendera Tua!” dia menyapaku lebih dulu.

Aku menyunggingkan senyum yang paling manis. “Selamat pagi, Tiang! Apa kabarmu?”

“Seperti yang dapat kau lihat. Aku masih kokoh seperti 24 tahun yang lalu, ketika pertama kali didirikan. Bagaimana denganmu?”

“Ah, aku sudah tua. Meski lebih muda darimu, tapi usia 18 tahun untuk sebuah bendera, rasanya sudah cukup ekstrem,” aku menghembuskan nafas dengan malas.

“Ah, kau berlebihan. Lagipula, kau pun jarang digunakan, bukan? Kau hanya dikibarkan untuk momen sepenting HUT RI saja. Harusnya kau lebih awet dariku yang tiap hari tertimpa sinar matahari, diguyur hujan, dan diterpa angin.”

“Justru itu. Karena terlalu sering disimpan, aku jadi lemah. Untuk bertahan di tiang ini saja, aku harus mati-matian berpegangan pada tubuhmu. Bagaimana nanti kalau ada angin kencang?” aku mulai khawatir. Benar saja, bagaimana bila angin kencang tiba-tiba menerpa?

“Aku yang akan menahanmu dengan taliku. Tenang saja.” Ah, jawabannya membuatku sedikit lega.

“Omong-omong, kau rindu tidak padaku? Kau tahu kan, aku rindu sekali bercengkrama denganmu!” kugelitik talinya, namun dia hanya diam.

Tiang menatapku dengan penuh jijik, kemudian berkata, “Rasanya tak perlu aku rindu padamu, bukan? Tiap Senin, aku bertemu dengan bendera yang lebih muda dan belum berjamur sepertimu. Hahahahaha.” Tawanya mirip iblis dan jawabannya sungguh membuatku sedih.

“Kau kejam sekali berkata seperti itu!” bibirku bergetar hebat. Dadaku ngilu.

Tiang segera mengubah ekspresi wajahnya. Wajahnya terlihat khawatir. “Hai, aku hanya bercanda, teman.”

Bah! Semudah itu dia berkata ‘hanya bercanda’?

“Candamu telah menyakiti perasaanku. Harusnya kau tahu, betapa rindunya aku padamu! Lalu, kau menyakiti perasaanku dengan perkataanmu yang sama sekali tidak lucu itu!” Air mataku mulai berlinang.

“Bendera Tua, aku hanya bercanda. Tidak ada maksud untuk menyakitimu sa—“

Angin tiba-tiba bertiup kencang. Tiang bergoyang sementara aku mati-matian memegang tubuhnya. Jantungku berdegup semakin kencang. Aku takut.

“Tolong, Tiang!” aku terus memegangnya dan dia juga menahanku dengan susah payah agar aku tak jatuh. Tapi aku sudah tak kuat lagi. Tanganku terasa perih. Akhirnya aku menyerah pada hujaman angin yang bertubi-tubi.

Tubuhku melayang dipermainkan angin, lalu tersangkut di ranting pohon yang merobekkan tubuhku.

Sebelum semuanya menjadi gelap, sayup-sayup kudengar murid-murid di bawah menertawaiku.



disadur dari:

fiksimini RT @har_fit: PERJUANGAN. Angin bertiup kencang. Bendera mati2an memegang tiang.

Jumat, 06 Agustus 2010

Surat Tua berwarna Pink (part II)

by : Elna Sinaga


Di belahan pulau lain, ribuan kilometer jaraknya dari Pantai Krakal, seorang wanita tercenung di kamarnya. Masih mengenakan seragam berwarna biru dengan logo PT Garuda dan lencana bertuliskan namanya di dada kanan. Sosoknya mungil, rambutnya panjang hitam tergerai, dengan tahi lalat di sudut dagu kirinya


Ia duduk di sofa hijau pupus di pinggir jendela kamarnya sambil memegang sebuah album kenangan. Matanya menatap ke luar, membayangkan sesosok lelaki yang sedang tersenyum di foto, membayangkan suaranya yang berat, membayangkan alisnya yang bertaut, membayangkan matanya yang tajam seperti elang. Doddy Erlangga, Libra, 23 September 1984. Bahkan setelah dua tahun berlalu dia belum melupakan setiap detail lelaki itu. Sosoknya membius pikirannya, memenuhi otaknya, menemani hari harinya yang sepi. Mengapa cinta sesakit ini?


*6 tahun yang lalu*


Dengan seragam putih abu abu, mengenakan papan segi lima di dada, kaus kaki berlainan warna, dan rambut dikepang lima, Intan berlari ngos-ngosan.


"Gawat, aku terlambat!"


Sekuat tenaga Intan berlari ke arah gerbang kampusnya.


"Cepat cepat cepaattt!!" teriakan senior membahana. "Sudah terlambat, jalan masih kayak bekicot. Dasar lambaaaaann".


"Siapa nama kamu?"


"Dewi Indah Sari, kak."


"Kamu?"


"Doddy Erlangga, kak."


"Dan kamu?"


"Intan Ayu, kak."


"Kalian bertiga baris di ujung berjejer!! Kalian pantas dihukum karena terlambat! Untuk yang lain masuk ke ruangan kelas sekarang!"


Semakin siang matahari semakin panas membakar kulit. Mereka bertiga masih berdiri berjejer di tengah lapangan. Mengusir rasa bosan dan panas yang tidak bersahabat, Doddy mulai membuka diri. Perlahan namun pasti mereka mulai saling bercerita dan entah mengapa, setelah 5 jam berlalu mereka seperti sudah kenal lama saja. Dan entah mengapa pula, Intan mulai menyukai sosok Doddy tanpa pernah tahu bahwa Dewi pun merasakan hal yang sama terhadap Doddy. Ada ikatan rasa di antara mereka bertiga dan yang menyadari itu hanya salah satu diantara mereka.


Semenjak perkenalan yang aneh itu Dewi menjadi sahabat dekatnya. Dewi tahu perasaan Intan terhadap Doddy dan hanya kepada Dewi lah Intan sanggup bercerita.


"Dia pintar Wi, baik lagi. Beruntung sekali wanita yang dicintai Doddy."


"Tan, kalau kamu memang suka sama dia, coba ajak dia jalan. Makan kek, nonton kek, apa aja asal bisa sama dia."


"Aku bukan tipe wanita kayak gitu Wi."


Dewi hanya terdiam, entah bingung entah senang dengan pernyataan Intan barusan.

Dewi sendiri juga bingung dengan perasaannya. Dia berada di posisi yang sangat sulit. Entah harus egois, entah harus bagaimana. Namun dalam hati kecilnya, dia tidak rela Doddy menjadi milik Intan. Jika Doddy menceritakan perasaannya kepada Intan, hati Dewi pasti sakit, seperti ditusuk ribuan jarum rasanya. Dan jika Intan menceritakan perasaanya tentang Doddy kepada Dewi, ingin rasanya Dewi menjerit, walau hanya dalam hati. Mengapa tak ada satupun yang mengerti bahwa ia pun mengalami perasaan yang sama. Mengapa harus dia yang mengalami keadaan seperti ini??


Dan keadaan itu berlanjut sampai hari itu. 23 Juli 2005. Hari ulang tahun Intan. Dari jauh-jauh hari, Doddy sudah menyiapkan sebuah baju berwarna pink. Baju itu indah, agak panjang sampai ke pinggang, lengkap dengan potongan leher berbentuk huruf V dan renda renda di sekelilingnya. Bagian dada agak melipit dan ada tali di bagian atas pinggangnya. Pasti Intan terlihat cantik mengenakan baju ini. Ia pun menitipkan kado itu kepada Dewi.


"Wi, tolong kasih kado ini untuk Intan ya." Dewi hanya mengangguk. Sungguh Dewi benci akan hal ini. Bahkan saat aku berulang tahun pun Doddy tidak ingat, pikirnya. Perlahan lahan ia buka kado itu. Dan air matanya meleleh. Gelombang kesedihan, kecemburuan, dan sakit hati melanda hatinya. Baju itu sungguh cantik. Ia pun mengambil baju itu, perlahan lahan ia kenakan. Sangat pas! Tak sengaja ia melihat sebuah kartu terselip. Ia membuka dan membacanya, ternyata isinya sebuah puisi.


Kamu adalah pagiku, alasanku untuk merapikan tempat tidurku.

Kamu adalah matahariku, menghangatkan hati dan pikiranku.

Kamu adalah semangatku, torehan pena di diktat literaturku

Kamu adalah malamku, harap cemasku adakah kamu dalam mimpiku

Kamu adalah kamu, satu tempat istimewa di hatiku selalu kamu

Dewi pun terduduk di sudut kamarnya. Ribuan air mata jatuh tanpa bisa ditahannya. Ia tersengal, hatinya sesak. Mengapa cinta sesakit ini?


Dan entah setan darimana yang membisikinya, ia merobek-robek kartu itu sampai potongan-potongan kecil tak terlihat.


Kemudian perlahan ia bangkit menulis di sebuah kertas berwarna pink.


"Ribuan kata tak sanggup terucap hanya doa yang mampu aku lantunkan. Selamat Ulang tahun sahabatku" ==Dewi==

Ia membungkus kembali kado itu. Besok akan diserahkannya kepada Intan. Semua mengalir begitu saja, setelah empat tahun mereka lewati bertiga. Tapi tali misteri masih terus membuntuti langkah mereka, mengikat dan tak putus jua.


Sampai pada pesta perpisahan di Pantai Krakal itu. Intan menautkan kedua jarinya dan dengan lirih berkata "Kami memang tidak jodoh Wi, habis wisuda aku harus pulang ke Bandung. Biarlah dia jadi kenangan saja di hatiku ini. Jadi cintaku yang tak berbalas." Dewi hanya diam. Diam seribu bahasa.


***

Api unggun itu membara, menghangatkan hati Intan. Demikian juga dengan petikan gitar di seberang sana. Menghangatkan hatinya dan cintanya. Malam itu Intan mengenakan baju hadiah dari Dewi. Berwarna pink, warna yang sesungguhnya tidak disukainya.


Intan merasa diawasi Doddy sepanjang malam itu. Setiap dia melihat ke arahnya, pandangan mereka selalu bertabrakan. Jantungnya berdegup kencang tanpa alasan. Tiba tiba ia melihat Doddy berdiri dan berjalan ke arahnya. Tangannya mendadak sedingin es. Kini, sosok itu menjulang di depannya dan memberikan tangannya untuk membantunya berdiri.


"Jalan-jalan yuk.." suara berat itu menyapa.


Intan menyambut tangan itu, dan tiba tiba tubuhnya seperti dialiri listrik. Tangan itu sungguh sangat hangat. Mereka berdua pun berjalan ke arah pantai. Baju yang Intan kenakan melambai-lambai diterpa angin malam. Lalu, mereka berdua duduk berdampingan di tepi pantai. Dalam diam.


"Kamu cantik pakai baju itu.."


Intan tertegun, dia tak menyangka Doddy akan berkata seperti itu. Doddy menyukai warna pink, dan dia tidak suka warna pink. Mengapa dia tak pernah tahu akan hal ini? Intan hanya membisu. Dia makin merasa bahwa ini adalah pertanda nyata : Doddy bukan jodohnya. Deburan ombak yang menyapu pantai menyadarkannya akan kenyataan pahit.


Dan disinilah aku. Di kamarku, di rumahku dan masih tetap memikirkan dia. Apakah suratku yang kutitipkan pada Dewi telah dibacanya? Mengapa tak ada kabar darinya? Mengapa tak kunjung ada sebait pesan di nomor HP barunya yang ia cantumkan di surat itu. Dan mengapa sesudah dua tahun pun bayangannya masih memenuhi otakku.


Mungkin dialah kekasih imajinasiku. Dalam kebisingan atau tanpa kebisingan. Dia dan hanya dia.


(BERSAMBUNG)


Disadur dari:
fiksimini RT @driveAnji: KEKASIH IMAJINER. Dia, hanya dia, selalu dia. Tanpa kebisingan.

Taruhan Gila Si Pengemis

By : Keenan Timotius

“Saya mau pegang Italia!” pinta seorang lelaki paruh baya di hadapanku. “Taruhannya agama saya…”

Aku terbelalak. Baru kali ini ada orang gila masuk ke tempat ini. Mungkin sebaiknya aku mengecek apakah ada RSJ yang kehilangan pasiennya hari ini. Lagipula, bagaimana caranya mengkonversi nilai taruhan kalau yang dipertaruhkan itu adalah agama? Kalau nyawa sih tidak apa-apa. Dia kalah, nyawanya melayang. Gampang. Kalau agama?

***

Mungkin bapak ini berkata jujur. Dia mengaku bahwa dirinya adalah seorang pengemis, bukan pasien RSJ. Dia juga bisa mengidentifikasi lokasi tempat dia biasa nongkrong dengan sangat jelas. Bahkan saking semangatnya, dia berniat membawa teman-teman seprofesinya hanya untuk bersaksi akan pekerjaannya itu. Pakaian morat-marit yang menurutku mirip ijuk sapu dipadu dengan topi pemburu yang sudah sangat usang, serta celana panjang yang berbau minyak dan banyak debunya, sudah cukup membuatku yakin. Cukup.

“Apa tujuan bapak sebenarnya datang ke sini?” nada suaraku kuusahakan setegas mungkin.

“Ya mau taruhan lah..Emang mau ngapain lagi?” jawabnya enteng.

“Lalu, kenapa jaminan yang bapak pertaruhkan itu agama bapak? Kenapa tidak benda yang lain? Yang lebih mudah ditaksir nilainya?” selidikku lebih jauh.

Dia mendesah. “Emangnya kamu pikir saya punya apa? Semua yang ada pada saya, orang lain saja sudah jijik melihatnya. Tidak bernilai lagi. Satu-satunya yang saya rasa berharga yang masih saya miliki hanyalah keyakinan saya. Agama saya.”

Aku makin bingung. “Lalu, kalau itu satu-satunya hal yang berharga buat bapak, kenapa justru merelakannya untuk sesuatu yang belum pasti bapak dapatkan?”

Kali ini dia tersenyum. “Anak muda, sebelum datang kesini saya sebenarnya sudah lebih dulu bertaruh dengan Tuhan.”

Aku terperanjat. Benar-benar gila orang ini, pikirku.

“Apa yang bapak pertaruhkan dengan-Nya?”

“Kalau Tuhan tidak peduli lagi padaku, Dia akan membuatku kalah malam ini. Lalu, buat apa lagi kupertahankan imanku pada-Nya? Aku akan sangat lega membuang keyakinanku kalau aku kalah.”

Aku belum mengerti. Jujur. Tapi aku rasa tidak ada gunanya lagi bertanya lebih jauh. Makin pusing nanti jadinya. Akhirnya aku permisi sebentar menuju ke ruangan bos besar. Bandar pasar taruhan di tempat ini.

***

“Ah! Gila kau! Tidak ada untungnya itu buat kita. Pake lah logika kau sikit. Emang kau bisa beli makan pake agama orang, hah??” Si bos menatapku remeh. Dia juga sama kagetnya denganku ketika kuceritakan ihwal taruhan si bapak pengemis itu.

“Dino, dari muka kau kayaknya kau kasihan ya ama bapak-bapak itu. Tapi yang realistis lah sikit. Jelas-jelas impossible kalo kita terima tawarannya itu. Ahli taksir harta terbaik di republik ini pun pasti angkat tangan kalo disuruh menaksir nilai agama. Kau udah tahu-nya apa yang harus kau buat sekarang. Lakukanlah itu, oke?”

“Oke bos.” Jawabku pelan. Dalam hati aku bergumam. Sebenarnya ada yang bisa menaksir nilai agama. Tanya saja sama anak SD. Pasti dia bilang diantara angka 5-9, tergantung nilai agama di rapornya.

***

“Wah! Sombong kali bosmu itu. Apa tak punya agama dia?”

“Pak, memang logis kalau tawaran bapak itu ditolak. Sangat susah mencari perbandingan nilai suatu agama. Lagipula, kami tidak mungkin digaji dengan agama orang lain.”

Ia terdiam untuk beberapa saat. Agak miris memang, karena aku sadar betul bahwa dia butuh uang untuk hidup. Dan di tempat ini, umumnya minimal jumlah uang kemenangan sebuah taruhan setara dengan gaji PNS per bulan. Tapi apa boleh buat, memang harus begini akhirnya.

“Ini ada sedikit sedekah dari saya pak, terima saja sebagai permintaan maaf.” tandasku sambil menyodorkan selembar uang 50 ribuan.

Dengan agak ragu-ragu, dia akhirnya menerimanya. “Terima kasih dik. Semoga amal ibadah adik dibalas Tuhan. Tuhan yang adik percayai tentunya.” tukasnya sambil berlalu.

Aku tersenyum mendengarnya. Amal? Aku sudah lama sekali tidak salat. Selain itu, profesiku ini adalah profesi illegal. Tidak ada halalnya ditinjau dari sisi manapun. Tapi setidaknya aku masih punya belas kasihan untuk orang-orang seperti bapak pengemis tadi.

***

Ditemani oleh playlist favoritku, aku tidur-tiduran di sofa ruang tamu. Benar-benar pengalaman aneh tadi, pikirku. Seorang bapak yang sanggup mempertaruhkan keyakinannya hanya untuk sedikit uang. Namun aku sadar, uang itu dipakai untuk menyambung hidup. Mungkin dia sudah bosan jadi pengemis. Mungkin dia ingin merintis usaha kecil-kecilan. Mungkin dia ingin beli baju baru. Mungkin besok anaknya ulang tahun, dan dia ingin membelikan sebuah hadiah sederhana. Mungkin.

Aku merenung. Menurutku, dia sudah memenangkan taruhannya dengan Tuhan. Dia sudah membuktikan secara tidak langsung bahwa Tuhan masih peduli padanya. Tuhan tidak mengizinkan dia untuk ikut taruhan agar dia tidak kalah dan meninggalkan Tuhan. Mungkin Tuhan masih punya rencana lain buat dia. Rencana yang lebih baik.

Aku tersenyum ketir. Tahu apa kau tentang Tuhan, tanya hatiku. Ah! Aku memang tidak tahu apa-apa tentang Tuhan, tapi yang jelas belum terlambat bagiku untuk mencari tahu tentang Dia. Dimana alamat-Nya, apa saja hobi-Nya, makanan kesukaan-Nya, dan lain-lain. Mungkin Tuhan juga yang menegurku hari ini, lewat kisah taruhan gila si pengemis.

**** SELESAI ****


Disadur dari:
fiksimini RT @Nathan_Arieezz : "Taruhannya apa?" "Agama saya.."

SATAN-1



By : Keenan Timotius

Jangan tanya kenapa judul di atas bisa kayak gitu. Percaya deh, gue awalnya juga bingung kayak kalian – para pembaca – tapi jawaban yang gue dapat hanya sebuah kantong plastik usang berisi segudang sachet dampratan dan sehelai kain tipis bekas pembalut luka memar.
***

Tokoh utamanya bernama Anita dan saat cerita ini ditulis, dia masih tidur diatas gundukan permata. Ya! Gundukan permata dalam arti sebenarnya. Bukan sebuah konotasi, apalagi hiperbola.
Sebenarnya
gue nggak diizinkan buat nulis detail cerita yang macam-macam. Tapi gue harus berani menyuarakan kebenaran, walau resikonya gede. Dan ini adalah sekelumit dari kebenaran itu.
Intinya, majikan gue ini adalah seorang sosialita setahun yang lalu. Dia begitu bangga dengan statusnya. Hidupnya serba wah! Belanja hanya di mall tertentu, sukanya pakai barang-barang branded, gaulnya juga sama orang-orang yang sepantaran saja. Bener-bener ajaib!!
Kami ketemu pertama kali sewaktu dia ingin dibuatkan memoar hidup. Dan saat itu gue yang ditunjuk jadi penulis memoarnya. Awalnya semua berjalan lancar dan terkesan cukup positif. Setidaknya sampai musibah itu datang.
***

ROMA, 3.01 PM -Day 1-
Gue udah lama tahu kalau Anita itu lesbian. Bahkan sebelum gue nge-buntutin dia seperti sekarang. Kali ini dia check in ke hotel bersama seorang pria. Udah berubah orientasikah sampai nyewa gigolo???
Sejam, 2 jam, 4 jam, gue terus menunggu. Sudah 3 gelas coklat panas yang gue tenggak. Perut mulai panas.... Alamat bahaya kalau diterusin minum.
Tak lama kemudian, akhirnya mereka keluar. Kali ini dengan beberapa orang lagi. Beberapa diantaranya menggotong kantongan plastik hitam ukuran jumbo yang sejujurnya membuat gue penasaran dengan isinya.
Ketika mobil Anita mulai keluar dari parkiran, hanya ada 1 hal yang terlintas di pikiran gue : PEMBUNUHAN.
***

8.55 PM
Hanggar pesawat. Hmmm... Tampilan luarnya memang aneh, tapi begitu masuk ke dalam, keadaannya lebih absurd lagi. Sekedar info, isi hanggar ini 100% adalah pesawat-pesawat kertas berukuran SUPER JUMBO. Gue hanya bisa melongo heran. Untuk apa semua pesawat ini dibuat dengan ukuran mirip pesawat asli, sampai-sampai butuh hanggar sungguhan buat menyimpannya?
Di tengah-tengah hanggar ada satu ruangan medium yang tampak seperti ruangan make-up. Di belakangnya ada 1 panggung raksasa – yang sepertinya sudah 3 abad nggak pernah disapu – lengkap dengan terpal warna-warni. Dua puluh menit yang lalu, mobil Anita dan gerombolannya baru aja ninggalin tempat ini. Tapi setelah 15 menit lebih meneliti, gue nggak bisa menemukan satu pun petunjuk waras atau jejak mereka tadi.. Ya Tuhan, TEMPAT APA SIH INI???!!
***

Bandung, sebulan yang lalu
“Kamu tahu apa itu obsesi, Timo?”
“Aku rasa definisi kita tentang obsesi masih tetap bertolak belakang, Om..”
Dia diam sebentar, lalu tiba-tiba tawanya pecah. Sedetik kemudian, dia udah tenang lagi. Tetap dengan sorot tajam matanya.
“Tidak ada yang salah ketika menyimpan obsesi. Berencana dengan matang sambil menunggu waktu yang tepat, ya kan Timo?”
Yang kedengaran selanjutnya hanya suara dentang garpu dan mulut gue yang lagi ngunyah. Gue sudah bisa menebak lanjutan omongannya.
“Kamu tahu kalau aku sudah lama menunggu saat seperti ini. Aku bosan menyaksikan mimpi-mimpiku tiap malam dipenuhi oleh langkah gemulainya, lekuk tubuhnya, suara seksinya, kerlingan matanya, AH!! Ini sudah saatnya, Timo. Harus.”
Pelan-pelan gue ngelirik ke Om Ardi. Harus diakui, di umurnya sekarang, dia masih punya kharisma dan wawasan yang kuat. Belum lagi ngeliat fisiknya yang kekar. Tapi gue tetap pesimis dengan rencana gila si kepala rumah tangga ini kepada majikannya sendiri.
Sambil mengelap mulut, gue hanya berujar singkat, “Hati-hati dengan hatinya, Om. Ada banyak bom waktu disana. Salah langkah, Om bakal langsung meledak.”
***

ROMA, 1.07 AM -Day 2-
Gue baru kelar mantengin daftar pemilik hanggar pesawat beserta perusahaan penyedia propertinya. Sejauh ini masih lancar, termasuk mendapatkan 2 kata yang sekarang tertulis di notes gue: Air Fance.

“Bonjour, monsieur.”*
“Bonjour. Je voudrais réserver une place sur un vol Rome-Paris le mercredi 28, vers 10h le matin au nom de Timotius.”**
“Vous avez dit Timotius. T-I-M-O-T-I-U-S?”***
“C’est ça.”****

Sambil nungguin proses pemesanan tiket kelar, gue mengamati sekeliling. Jalan sudah sunyi banget dan hawa di kota ini sungguh menyiksa. Dinginnya bukan kepalang.

“Merci beaucoup, monsieur Timotius. Bonnes vacances.”*****
“Je vous en prie, mademoiselle. Bonnes vacances à vous aussi..”^*

Sehabis nutup gagang telepon, gue senyum-senyum sendiri. Tujuan berikutnya: Musée des Beaux-Arts de la ville de Paris.^**
Di kejauhan, tanpa gue sadari, sebuah bayangan bergerak ngikutin gue.

-bersambung-

*Selamat pagi/siang, Tuan
** Selamat pagi/siang. Saya mau pesan 1 tempat di penerbangan Roma-Paris hari Jumat tanggal 28, jam 10 pagi atas nama Timotius
*** Anda tadi bilang Timotius. T-I-M-O-T-I-U-S?
**** Itu sudah tepat.
***** Terima kasih banyak, Tuan Timotius. Selamat berlibur.
^* Sama-sama, Nona. Selamat berlibur untuk anda juga.
^** Museum Seni Rupa kota Paris



Disadur dari :

fiksimini RT @driveAnji : Lekuk tubuhnya bisa kukira-kira. Hatinya tidak.