Protected by Copyscape Unique Content Check

Senin, 10 Oktober 2011

Pemberitahuan

Halo teman-teman! Para kontributor maupun penikmat blog, selamat datang dan selamat bertamasya jika anda saat ini sedang berada di laman kami.

Sedikit informasi, buku Antologi Cerpen? Sini! telah terbit dengan judul "RAHASIA RINDU", diterbitkan oleh LeutikaPrio Self Publishing dengan harga Rp 36.300,00 (belum termasuk ongkos kirim).

Bagi anda yang berminat, silahkan memesan kepada moderator blog : Nuzula Fildzah, akun twitter @zulazula atau langsung mampir serta register data diri ke website LeutikaPrio.com, pemesanan diatas Rp 90.000,00 BEBAS ONGKOS KIRIM. Enak gak tuh? :D

Pengumuman berikutnya, sebagian cerpen yang terdapat dalam blog ini akan kami HAPUS karena telah termuat dalam buku Antologi "RAHASIA RINDU". Namun jangan khawatir, cerpen lain yang tidak terangkum dalam Antologi, tetap bisa anda nikmati ketika berkunjung ke blog tercinta ini.

Mohon maaf juga kami haturkan karena blog ini vakum cukup lama dikarenakan kesibukan masing-masing moderator serta lobi-lobi ke penerbit dalam rentang waktu tersebut.

Bagi anda para kontributor lama dan baru, naskah cerita pendek fiksimini akan kami terima lagi mulai 17 Oktober 2011. Naskah silahkan anda kirimkan ke e-mail cerpensini@yahoo.co.id.

Format dan syarat naskah serta tata cara untuk menjadi kontributor dapat anda lihat di blog. Ingat, hanya naskah dari kontributor terdaftar yang berhak dimuat dalam blog ini.

Akhirnya, kami para moderator mengucapkan terima kasih banyak atas dukungan anda sekalian, baik para kontributor maupun penikmat sajian-sajian cerita kami. Enjoy the writing, keep up the good work!!

Salam,

Jona / @bukankah
penggagas blog Cerpen? Sini!

Selasa, 05 April 2011

MAYA

oleh : Petronela Putri

“Apa kamu bahagia?” Ia memeluk tubuhku dari belakang. Aku mengangguk. Pemandangan senja pinggir pantai ini adalah pemandangan yang paling kucintai dalam hidupku. Sore ini, ia mengajakku lagi ke tempat ini untuk kesekian kalinya.
“Ada apa? Tadi kau bilang ingin bicara sesuatu?” Aku melepas pelukannya lalu menatap lelaki-ku itu penuh tanya.
“Aku ingin mengatakan sesuatu.”
Aku menunggu, “Ya?”
“Apa kau mau menikah denganku?” Perlahan tangannya membuka sebuah kotak mungil. Ada sebentuk cincin berlian berkilau didalamnya.
Aku menatapnya sejurus, meraih tangannya dan menggenggam lembut, “Aku..”
“Tidak perlu ragu.. Aku sedang mengurus perceraian dengan istriku. Beberapa hari lagi kami akan resmi bercerai.” Ia berusaha meyakinkanku.
Aku kembali terdiam, haruskah aku menerimanya? Sekarang ia milik wanita lain. Tapi seketika hatiku yang sedang kasmaran menjadi dingin. Siapa peduli? Aku mencintainya dan ia mencintaiku. Lagipula ia bilang akan segera menceraikan istrinya.
Tidak ada waktu berdiskusi dengan hati dan Tuhan sekarang.
“Ya, tentu saja..”
Ia tersenyum puas lalu melingkarkan cincin bertahta berlian itu ke jari manisku. Tanda cinta kami yang aku harap abadi.
***
Di mana ini? Aku tidak bisa melihat apapun. Gelap. Semuanya buyar, kecuali ingatanku tentangnya dan cinta kami. Apa bumi sudah terbelah? Apa air bah sudah menerjang segala? Apa ini adalah kiamat?!
Aku sibuk menelusuri lorong gelap yang seolah tanpa ujung. Aku bahkan tidak dapat lagi merasakan jari-jari kakiku menjejak. Yang kuingat hanyalah secercah cahaya menyilaukan menghampiri dari depan, dan perlahan cahaya itu berubah bentuk menjadi manusia bersayap. Apakah aku sudah gila??
“Tidak perlu takut. Sudah waktunya kamu kembali ke duniamu.” Ia berseru.
“Kau siapa?! Aku dimana?!” Jerit hatiku. Ini aneh! Mulutku seakan tak lagi berfungsi cuma dalam sekejap mata.
Seolah dapat mendengarkan suara hatiku barusan, manusia bersayap yang hanya berupa siluet itu kembali menyahut.
“Tidak penting siapa diriku. Karena yang terpenting sekarang adalah kamu kembali ke duniamu. Hentikan segala kerinduan dan ingatan akan kehidupan duniawimu yang telah lewat. Cegah penglihatanmu untuk tidak menerimanya lagi!”
Tiba-tiba cahaya itu menabrakku, membuat tubuhku terhuyung lemah. Kemudian aku merasakan diriku kehilangan keseimbangan dan jatuh jauh sekali. Hal berikutnya yang kuingat adalah tubuhku telah mendarat di sebuah daerah yang tak kukenal. Otakku lalu berusaha memutar ulang kejadian-kejadian yang kualami sebelumnya.
Bayanganku menjerit di tengah malam saat hujan badai menyerang. Kemudian berganti ke detik-detik tatkala sebuah belati menghujam jantungku berkali - kali. Bahkan aku masih merasakan sakitnya sekarang, juga sanggup membayangkan betapa banyak darah segar yang mengalir dari tubuhku waktu itu. Semua terasa nyata. Amat nyata!
Istrinya.. pembunuh!!
Aku rindu lelakiku!! Apa ia sudah menceraikan pembunuh itu?!
Kutatap jari manisku. Cincin itu masih terpasang mantap disana, bahkan setelah aku terdampar di dunia berbeda. Inikah buktinya cinta kami benar-benar tulus abadi?
***


Disadur dari :
@fiksimini RT @ekawijaya04 MATI SURI. Selama beberapa jam aku melihat dunia nyata.

Jumat, 25 Maret 2011

MENJEMPUTMU

Oleh : Lariza Oky Adisty

Sangatlah sulit menahan jeritanku menerobos keluar kerongkongan. Setelah susah payah menahan, akhirnya kata-kata yang keluar dari bibirku hanyalah, “Ka-kamu?”
“Iya, ini aku. Boleh aku masuk?”
Gemetaran dari ujung kepala sampai ujung kaki, aku mempersilakan ia masuk. Sekilas kuamati sosoknya. Wajahnya kini berhiaskan janggut lebat dan… bekas luka?
“Kenapa kamu luka-luka begitu?” tanyaku tanpa sadar mencengkeram lengan atasnya. Ia meringis sedikit sambil menatapku seolah berkata “Sakit, bodoh!”
Kuhempaskan lengannya. “Duduklah. Biar aku ambilkan minum dan obat.” Tanpa menunggu jawabannya, kutinggal ia ke dapur. Tak lebih dari 10 menit aku sudah kembali menemuinya. Kupersilakan ia menghirup teh buatanku. Jasmine tea. Kesukaannya. Sejak 5 tahun yang lalu.
“Apa yang terjadi padamu?” tanyaku tak sabar, namun ia mengangkat satu tangannya sambil menukas. “Please. Setidaknya biarkan aku mengobati luka-lukaku.”
“Biar aku saja,” bantahku sambil agak gegabah mengambil alkohol, obat merah, dan kapas dari kotak P3K, kemudian dengan cekatan membersihkan luka-lukanya. Sesekali ia meringis ketika tetesan alkohol meresap perih ke luka-lukanya.
“Selesai,” gumamku setelah menutup luka di atas alisnya dengan perban.
“Terima kasih,” ia balas bergumam. Lembut.
“Kamu belum menjawab pertanyaanku. Kenapa kamu luka-luka begitu?”
Ia mengusap bekas luka di dekat bibirnya. “Aku jatuh, Cinta…”
Cin…ta?
“Kamu salah memilih waktu untuk bercanda. Ini bukan lagi 5 tahun yang lalu!” tukasku ketus, namun ia tak mendengarkan, malah terus bercerita.
“Aku jatuh dari sepeda tadi sore di depan Starbucks Coffee. Aku melihatmu keluar dari sebuah butik dan bermaksud mengejarmu, namun sebuah sepeda motor menyerempetku.”
Ah. Tadi pagi memang aku sempat mampir ke sebuah butik favoritku. Tapi…
“Bagaimana kamu tahu itu aku?”
“Kamu memakai jaket yang aku belikan dari tabungan 3 bulan gajiku waktu ulang tahunmu. Aku langsung mengenalinya,” jawabnya ringan.
Aku mengernyit. “Apa maksudmu mengungkit-ungkit hal itu?” tanyaku sedikit tersinggung.
“Karena dari dulu sampai sekarang uangku tidak akan mampu menandingi kekayaanmu, Cinta,” Panggilan itu lagi! “Maaf kalau aku menyinggungmu. Tapi dari tampilan tempat tinggalmu sekarang, sepertinya kamu sudah melarikan diri dari kehidupan mewahmu di Jakarta.”
Huh! Ternyata dia tahu kalau apartemenku ini hanyalah apartemen bobrok untuk ukuran kota New York!
“Pasti sudah heboh diliput pers kan?” aku menanggapi pernyataannya dengan nada sarkastis.
“Memang heboh,” jawabnya singkat. Aku tak berkata apa-apa lagi.
“Pulanglah denganku,” tiba-tiba ia melanjutkan.
“Pulang denganmu??” alisku spontan terangkat.
“Kamu pikir kenapa aku sekarang ada di sini?” tanyanya.
“Aku mendengar kabar pertengkaranmu dengan ayahmu, lalu kamu menghilang,” tukasnya setelah meneguk tehnya lagi. “Dan aku yakin sekali kalau kamu pasti kabur ke New York untuk bersembunyi. Seperti biasa..”
“Tapi ngapain sih kabur jauh-jauh? Sebenarnya di Jakarta juga bisa. Bersamaku,” ujarnya sambil menatapku serius. “Pulanglah bersamaku. Kita naik pesawat kelas ekonomi, transit di Thailand, lalu ke Jakarta. Kamu bisa tinggal di kos adikku sementara sampai....”
“Sampai kapan?!”
“...sampai kamu bersedia menikah denganku. Kita tidak butuh kekayaan ayahmu kan? Aku bisa menyediakan rumah, mobil…walau mungkin tidak seukuran istana Buckingham dan Maserati baru,” tuturnya setengah bercanda.
Pulang. Dengannya. Menjauhi segala kemewahan. Menyingkir dari kungkungan dan aturan…
“Besok saja kupikirkan,” jawabku singkat.
Ia mendengus tertawa. “Aku hafal sekali kebiasaanmu. Kamu pasti tertarik dengan tawaranku, kan?” tanyanya setengah meledek.
“Sialan! Sudahlah, jangan menggangguku terus. Lebih baik kau pulang,” bantahku salah tingkah.
“Bagaimana kalau aku tak ingin pulang? Demi 5 tahun yang hilang?” ia menantangku.
Aku menghela nafas lelah. “Terserah dirimu sajalah.” Tapi setelah itu tak urung aku tertawa juga. Aku rindu suasana rileks seperti ini. Bersamanya.
***
5 jam kemudian,
Target sudah berhasil saya bujuk. Beri saya waktu tiga hari lagi, saya akan bawa dia pulang.
Sesosok pria menulis pesan di ponselnya, kemudian duduk di atas kloset. Menunggu.
Tut! Ponselnya berbunyi pelan.
Bagus. Tiga hari lagi kabari saya saat kalian pulang. Saya akan stand-by di Thailand. Bayaran kamu akan saya transfer hari itu juga. Yang penting anak saya harus kembali hidup-hidup.
Ia tersenyum sambil sedikit meringis menahan sakit. Luka-luka di wajahnya belum sembuh benar. Tapi tak masalah. Yang penting tiga hari lagi ia meraih mimpinya.



Disadur dari: @fiksimini RT @reginahelin: “Kenapa kamu luka-luka begitu?” | “Aku jatuh, Cinta.”

Senin, 17 Januari 2011

AKSI MOGOK PENA & KERTAS

By : Keenan Timotius

Deadline naskah ini kurang dari 24 jam lagi. Tapi justru di ujung jurang, ada masalah krusial menghampiri. Ya! Pena dan kertas yang membantuku mendadak mengundurkan diri.

**

Namaku Joni. Mahasiswa tingkat akhir, single, Kristiani, Jawa darah murni, tinggal di Palembang. Pekerjaan sampinganku adalah sebagai penulis naskah film dokumenter, kadang merangkap jadi editornya juga. Lumayanlah untuk membiayai jajan tiap hari. Sangat menyenangkan memang..

Namun kali ini kondisinya terbalik. Karena sibuk mengurus seminar TA & persiapan wisuda lainnya, aku lupa menyelesaikan sebuah draft naskah yang diadaptasi dari salah satu film sejarah favorit adikku. Yang seharusnya gampang jadi rumit.

Tadi sehabis sarapan, aku duduk di ruang tamu. Menunggu pencernaan bekerja sambil memikirkan calon dialog yang cocok untuk beberapa scene. Ketika sudah mendapat ide yang pas dan bergegas ke kamar, aku kaget melihat sebuah surat berstempel di meja belajarku.

Kurobek amplopnya, kubuka lipatan kertasnya, lalu kubaca isinya. Makin lama kok isi surat ini makin aneh. Kupercepat membaca sampai ke baris terakhir dan kutemukan nama penulisnya. Pena dan kertas.

Sial! umpatku dalam hati. Mereka memang kurang setuju dengan pesan filmnya. Mereka sudah ogah-ogahan membantuku sejak tahu kalau aku yang diminta menulis naskahnya. Mungkin mereka juga sengaja membiarkanku lupa akan deadline ini.

Namun aku tidak menyangka kalau mereka akan setega ini. Meninggalkanku diam-diam dalam suasana genting! Kulirik laptopku yang rusak di sudut meja. Tidak ada cara lain! Aku harus membawa pulang pena dan kertas laknat itu!

**

Panas sekali sore ini. Aku duduk di taman menghadap toko perlengkapan kantor itu. Aku tahu mereka sembunyi disana, karena hanya toko itu tempat yang mereka kenal di kota ini.

Tidak lama kemudian mereka keluar, bersembunyi dalam kantong kemeja si pemilik toko yang kupanggil “Paman Gembul”. Aku segera bangkit dan lari menyeberang jalan sampai-sampai tidak sadar kalau nyawaku ketinggalan.

“Halo paman!” sapaku. Paman Gembul terkejut. Dia menoleh dan tersenyum.

“Eh, nak Joni. Tumben sore-sore gini main ke tempat paman. Ada gerangan apa nih?” tanyanya. Sekilas kulirik kantong kemejanya. Kalian tidak bisa lari lagi!

“Gini paman. Dari semalam pena dan kertasku belum pulang. Jadi aku berinisiatif mencari sendiri. Karena toko ini adalah tempat mereka biasa nongkrong, jadi aku memutuskan untuk mulai dari sini.” terangku.

“Wah, paman gak lihat mereka seharian ini lho, nak Joni. Mungkin mereka tersesat di suatu tempat di rumah nak Joni.” Paman Gembul mengeluarkan peluru alibinya.

“Atau mungkin mereka tersesat di kantong paman kali..” tembakku cepat.

Paman Gembul tak bisa mengelak sekarang. Dia sudah mati kuda, bukan kutu lagi. Keringat dingin yang mengalir di lehernya mengucapkan salam padaku.

“Baiklah! Kami menyerah!” teriak sesuatu dari dalam kantong kemejanya. Perlahan pena keluar lalu kertas menyusul. Mereka terlihat cemberut. Setelah berpamitan singkat pada Paman Gembul, langsung kubawa mereka pulang.

Mereka akhirnya bercerita di rumah. Mulai dari scene yang bertentangan dengan pendapat mereka, kesal dengan sikapku yang keras kepala, hingga rencana pengunduran diri itu.

Aku tidak bisa memberi respon apapun. Tepatnya belum. Namun karena waktuku tidak banyak lagi, kuputuskan untuk mengusulkan sebuah solusi sehabis makan malam.

**

“Jadi teman-teman, bagaimana dengan usulku tadi?”

Mereka berdua saling lirik, lalu berunding. Akhirnya kertas berbicara, “Baiklah! kami setuju membantumu asalkan kau menepati janjimu sesuai usul tadi.”

Rasa legaku jadi kuadrat! Kami pun bergegas menyiapkan segala perlengkapan yang dibutuhkan. Hanya 5 jam tersisa menuju deadline. Malam ini akan menjadi malam yang sangat panjang.

**

Ruang rapat sudah mirip pasar pagi. Hampir semua pihak yang terlibat sudah hadir. Editor, casting supervisor, penata rias, sutradara, notaris, hingga tim marketing. Aku masuk, lalu memilih tempat duduk di tengah untuk memudahkanku mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan, siapa tahu ada tikus buronan kucing kantor lewat.

Tepat jam 10.15 rapat dimulai. Di sesi awal aku mendengarkan saja. Ingin tahu pendapat orang lain tentang proyek film ini, terlebih untuk mengenal cara pandang mereka satu-persatu.

“Mas Joni, saatnya anda presentasi. Waktu & tempat dipersilahkan,” undang produser setelah setengah jam berlalu. Ini dia saatnya!

Presentasi berlangsung mulus seperti kulitku. Tidak banyak komentar yang dilontarkan. Mungkin ini efek dari pertemuan kilat pagi tadi. Rapat terbatas yang digagas sang sutradara itu diluar dugaan langsung meloloskan draft naskahku, setelah melalui proses editing tentunya.

Selesai rapat, aku meminta izin untuk ngobrol dua belas mata + tangan + kaki dengan produser. Dia mengiyakan & menyuruhku menunggu di lobi. Setelah selesai bercengkerama dengan koleganya, ia datang menemuiku.

“Ada apa Jo? Ada sesuatu yang mengganggumu seputar rapat tadi?” tanyanya.

“Oh, bukan soal rapat barusan, Mas. Yang pengen saya bicarakan itu justru tentang naskah saya. Saya minta dalam credit-title nanti yang dipublikasikan sebagai penulis naskah itu adalah pena dan kertas saya.”

Si produser jelas kaget. Tapi setelah mendengar penjelasanku yang memang ngawur, dia akhirnya setuju.

“Terserah kamu aja Jo. Gimana baiknya buat kamu aja.” tutupnya.

Aku pun pulang dari kantor sambil tersenyum. Pena dan kertas pasti senang karena keinginan mereka terpenuhi. Pihak Production House juga gembira karena mereka mendapatkan naskah yang keren. Sedangkan untukku, aku sudah cukup bahagia karena bisa menepati janjiku pada semua pihak.



Disadur dari :
@fiksimini RT @Nathan_Arieezz : “Pena & kertas akhirnya menyerah kalah. Mereka terlihat cemberut ketika kutangkap basah.”

Yang Kami Sembunyikan Dari Rahasia

By : Keenan Timotius

Di tepi jalan rumah sakit malam itu, Nita berbisik padaku. “Luisa, tolong jangan bilang pada Rahasia kalau gue merahasiakannya.”

Rahasia. Ya! Nama yang aneh memang untuk seorang teman. Sahabat jauh kami bertiga yang bermula dari obrolan social media biasa, namun selalu menolak bertemu ketika kami mengajaknya kopi darat.

Tapi dibalik keanehannya, dia jago menjelma. Bukan jadi power rangers atau kuntilanak, melainkan jadi tempat sampah. Setiap kali kami punya keluh kesah tentang kehidupan kami masing-masing, kami akan datang padanya dan dia akan menelan semua curahan hati kami dengan senang hati. Memang sih dia tidak bisa memberi solusi karena sedari lahir dia tidakmemiliki perasaan, tidak mampu mengerti apa itu masalah dan keluh kesah, tapi setidaknya dia sudah menghadirkan rasa lega nan langka untuk singgah ke lubuk hati kami sehingga kami dapat berpikir jernih kembali.

Awalnya semua berjalan menyenangkan sampai Nita, salah seorang anggota geng kami, mencoba berpetualang di dunia hitam yang selama ini menjadi pantangan bagi kami. Dia berpikir bahwa semua keterlibatannya dalam hal-hal tabu tersebut akan tersimpan rapat dalam tengkorak si Rahasia setiap kali dia bercerita padanya, yang membuat Nita semakin berani dan menjadi-jadi dari waktu ke waktu.

Namun ternyata Nita salah. Setelah terjerumus begitu dalam, dia baru sadar bahwa tidak bisa mundur lagi. There’s no turning back. Dia juga baru ingat kalau rahasia hanya mampu menyimpan & tidak sanggup menyelesaikan masalah.

Kisah ini bermula 3 minggu lalu atau sehari setelah ulang tahun mamaku. Nita tidak muncul di pesta tadi malam. Aku & Natasya pun semakin curiga pada sikapnya belakangan yang kerap menghindar. Bahkan di kampus kami sudah jarang bertemu!.

Malam itu Nita meneleponku. Dia tahu kalau Natasya lagi menginap di rumahku & meminta kami berdua untuk segera menemuinya. Tempat yang dipilih lumayan aneh : kantin belakang sebuah rumah sakit.

Kami pun segera bersiap-siap. Tidak sampai 1 jam, kami sudah tiba di tempat yang dimaksud & melihat Nia sedang duduk menunduk sendirian.

“Kenapa, Nit?” tanya Natasya. Nita mendongak memandang kami, rupanya dia baru habis menangis.

Ada preman yang membacok adikku.” jawabnya sengau.

Natasya mengerutkan dahinya, “Hah?? Kok bisa sih?”

Nita lalu bercerita bahwa sore itu 2 orang suruhan seorang bandar narkoba datang padanya. Mereka mengancam agar Nita membayar semua hutangnya tempo hari. Nita berusaha kabur tapi kalah cepat, dan saat itulah adiknya datang. Maksud hati ingin menolong kakaknya, tapi malah kena bacok sampai sekarat.

“Udah gue bilang Nit, jangan ikut-ikutan bisnis haram kayak gitu. Sekarang gini nih akibatnya.” kata Natasya. Nita hanya diam menatap kami. Dia benar-benar sangat bingung sekarang.

“Masalah utamanya : kita harus menyembunyikan rahasia secepatnya! Preman-preman itu sudah tahu tentang dia dan sekarang mengincarnya!” celetuk Nita tiba-tiba.

Duh! Pikirku. Teman kami Rahasia memang dengan sukarela menyimpan segala sesuatu, tapi dia paling benci kalau dirinya sendiri dirahasiakan. Sifat aneh berikutnya dari pribadinya yang memang sudah unik.

“Trus, gimana dong sekarang?” kali ini Natasya melotot pada Nita. Emosinya mulai naik. Kalau sudah begini cuma akan menambah masalah baru saja, gumamku dalam hati. Akhirnya kuputuskan untuk memasukkan suasana ini kedalam kulkas.

“Gini aja deh. Lo harus cerita dulu ke ortu lo tentang kondisi adik lo. Abis itu baru kita cari solusinya bareng-bareng. Apakah itu melapor ke polisi atau minta perlindungan ke lembaga bantuan hukum. Banyak cara kok!” aku mengulurkan tanganku ke Nita, “Tapi lo harus janji untuk tobat setelah semua ini berakhir!!”

Bendungan tangis Nita bobol sudah. Tanah di sekitar tempat kami berdiri pun kebanjiran air mata. Mudah-mudahan bukan air mata aligator atau anaconda.

***

Rio adik Nita, baru diperbolehkan pulang oleh dokter tepat sebulan setelah peristiwa pembacokan itu. Natasya ikut menjemputnya sedang aku tidak bisa karena harus mengurus persiapan seminar tugas akhirku di kampus.

Aku langsung kabur ke rumah Natasya setelah urusan seminar selesai. Semoga ada perkembangan baru soal kasus si bandar narkoba itu.

“Sebelum Nita sempat bersaksi, pengusaha itu udah ngaku via testimoni pengacaranya, tapi itu dilakukannya setelah dia kabur ke luar negeri. Jadi polisi langsung menetapkan dia jadi tersangka,” cerita Natasya.

“Trus kroni-kroninya? 2 orang yang ngancam Nita itu gimana?” lanjutku antusias.

Natasya menyahut tanpa menoleh, “2 orang itu udah ditangkap. Soal kroni yang lain, gue kurang tahu sih. Pastinya gue berharap polisi bisa menumpas gerombolannya sampai bersih!”

“Jadi Rahasia udah aman dong sekarang? Ga perlu sembunyi lagi kan?”

“Belum. Dia mungkin masih jadi target komplotan si pengusaha yang saat ini masih berstatus buron. Sembunyi masih jadi solusi terbaik buat dia.”

“Lagian, gue bersyukur karena Nita gak jadi bersaksi. Kalau sampai Nita bersaksi, otomatis Rahasia harus hadir. Dia pasti tidak akan senang kalau tahu yang sebenarnya.” tutupnya.

***

Hari ini aku chatting lagi dengan rahasia. Dia bilang dia turut senang dengan kondisi Rio yang semakin membaik. Disisi lain, secara diam-diam dalam hati aku tetap bertanya-tanya, benarkah segala keputusan yang telah kami ambil ini? Tentang kesepakatan kami untuk menyembunyikan kebenaran dibalik bencana yang menimpa Rio, tentang.Nita yang sempat terancam hidupnya, yang aku tahu pasti akan berujung pada cerita seputar bandar narkoba sialan itu. Bagaimana reaksi teman baik kami ini seandainya ia menyadari bahwa kami telah melanggar janji kami kepadanya?

Bahkan rahasia sendiri tidak senang kalau dirahasiakan. Tapi kita tetap punya celah sempit dalam diri kita masing-masing yang khusus diperuntukkan untuk merahasiakan sang rahasia itu. Apakah itu juga termasuk dosa??

Disadur dari :

@fiksimini RT @Nathan_Arieezz : “Jangan bilang pada rahasia kalau saya merahasiakannya..”

Kamis, 13 Januari 2011

TATO KINAN

by : Lily Mirza - @lymirza

Sudah seminggu ini Kinan selalu memakai jaket. Kalau cuaca dingin sih wajar saja. Kalau cuaca sedang panas?

“Kamu ngapain sih pake jaket terus? Abah aja kepanasan gini,” tegur Abah saat mereka sarapan bersama.

“Nggak apa-apa dong, Bah. Kan kalo kena sinar matahari terus-terusan Kinan bisa item. Nanti nggak dapet job pemotretan gara-gara kalah saingan sama model lain yang lebih putih.”

Abah manggut-manggut. “Hari ini kamu mau kemana?”

“Ke kampus, Bah. Terus nanti siang ada pemotretan buat katalog.”

“Oh, belom selesai juga foto buat katalognya?”

“Belum, Bah. Kemaren barang yang mau dipasarin itu belum lengkap.”
“Ya udah, Kalau selesai pemotretan, langsung pulang ya. Beliin Abah martabak telor di deket gardu satpam itu.”

“Oke, Bah.”

Kinan melahap sarapannya dengan cepat. Lalu beranjak membereskan meja.
“Kinan pergi dulu ya, Bah.”

Setelah Kinan pergi, Abah diam-diam tersenyum dalam hati.

Nanti kalau anakku sudah jadi model profesional, impianku untuk kaya pasti terwujud! Barang sudah tersedia, tinggal cari konsumen yang tepat dan berani bayar muuaaahhhaaallll...

* * *

Seminggu kemudian

“Kinan!” tegur Abah begitu Kinan pulang.

“Iya, Bah?” Kinan mendekati Abahnya, mencium tangannya, lalu duduk di kursi sebelah Abah.

“Kok tetangga pada ribut sih ngomongin kamu. Katanya kamu baru bikin tato ya?”

Kinan kaget. “Masa sih, Bah?”

“Iya. Mereka berulangkali ngomong gitu sama Abah. Katanya abis liat katalog produk yang ada foto kamu itu.”
“Terus, Abah udah liat katalognya?”

“Ya belum! Makanya sekarang Abah mau liat. Ayo buka jaketmu. Liatin tato kamu sama Abah.”

Secara perlahan, Kinan pun membuka jaketnya.

Abah terbelalak melihat lengan anaknya. Dipegangnya bahu Kinan, lalu dipaksanya Kinan membelakanginya. Ternyata, di punggungnya juga ada tato serupa!

“KINAAAAAANNNN.!!!!” Abah berteriak histeris. “KAMU GILLAAAAAAA!!!”

Kinan refleks beranjak, menjauh sedikit dari Abah.

“Pantesan ya kamu pake jaket terus! Mau sembunyiin ini ya dari Abah?!”
“Aduh, maaf, Bah, ini kan tuntutan profesi.”

“Tapi nggak begini juga caranya!”

Abah terduduk lesu, memandangi tato yang ada di tubuh anak gadisnya. Ia sebenarnya tidak suka jika anaknya memiliki tato, tapi kali ini kebenciannya berlipat ganda, karena tato itu ternyata berupa sebuah tulisan yang sangat dibenci Abah.

Ya, tulisan! Bukan gambar. Berukuran besar pula! Tulisan itu berbunyi :

“Tidak untuk diperjualbelikan!”


disadur dari :

@fiksimini RT @dedirahyudi : TATO DIPUNGGUNG GADIS. Ayahnya marah bukan kepalang, karena tato itu berbunyi : "Tidak untuk diperjualbelikan!"