Selasa, 17 Agustus 2010
DIALOG
by : Bintang Pradipta
Aku sudah di atas tiang. Gugupku sudah mulai berkurang. Rinduku pada tiang pun telah terobati.
“Selamat pagi, Bendera Tua!” dia menyapaku lebih dulu.
Aku menyunggingkan senyum yang paling manis. “Selamat pagi, Tiang! Apa kabarmu?”
“Seperti yang dapat kau lihat. Aku masih kokoh seperti 24 tahun yang lalu, ketika pertama kali didirikan. Bagaimana denganmu?”
“Ah, aku sudah tua. Meski lebih muda darimu, tapi usia 18 tahun untuk sebuah bendera, rasanya sudah cukup ekstrem,” aku menghembuskan nafas dengan malas.
“Ah, kau berlebihan. Lagipula, kau pun jarang digunakan, bukan? Kau hanya dikibarkan untuk momen sepenting HUT RI saja. Harusnya kau lebih awet dariku yang tiap hari tertimpa sinar matahari, diguyur hujan, dan diterpa angin.”
“Justru itu. Karena terlalu sering disimpan, aku jadi lemah. Untuk bertahan di tiang ini saja, aku harus mati-matian berpegangan pada tubuhmu. Bagaimana nanti kalau ada angin kencang?” aku mulai khawatir. Benar saja, bagaimana bila angin kencang tiba-tiba menerpa?
“Aku yang akan menahanmu dengan taliku. Tenang saja.” Ah, jawabannya membuatku sedikit lega.
“Omong-omong, kau rindu tidak padaku? Kau tahu kan, aku rindu sekali bercengkrama denganmu!” kugelitik talinya, namun dia hanya diam.
Tiang menatapku dengan penuh jijik, kemudian berkata, “Rasanya tak perlu aku rindu padamu, bukan? Tiap Senin, aku bertemu dengan bendera yang lebih muda dan belum berjamur sepertimu. Hahahahaha.” Tawanya mirip iblis dan jawabannya sungguh membuatku sedih.
“Kau kejam sekali berkata seperti itu!” bibirku bergetar hebat. Dadaku ngilu.
Tiang segera mengubah ekspresi wajahnya. Wajahnya terlihat khawatir. “Hai, aku hanya bercanda, teman.”
Bah! Semudah itu dia berkata ‘hanya bercanda’?
“Candamu telah menyakiti perasaanku. Harusnya kau tahu, betapa rindunya aku padamu! Lalu, kau menyakiti perasaanku dengan perkataanmu yang sama sekali tidak lucu itu!” Air mataku mulai berlinang.
“Bendera Tua, aku hanya bercanda. Tidak ada maksud untuk menyakitimu sa—“
Angin tiba-tiba bertiup kencang. Tiang bergoyang sementara aku mati-matian memegang tubuhnya. Jantungku berdegup semakin kencang. Aku takut.
“Tolong, Tiang!” aku terus memegangnya dan dia juga menahanku dengan susah payah agar aku tak jatuh. Tapi aku sudah tak kuat lagi. Tanganku terasa perih. Akhirnya aku menyerah pada hujaman angin yang bertubi-tubi.
Tubuhku melayang dipermainkan angin, lalu tersangkut di ranting pohon yang merobekkan tubuhku.
Sebelum semuanya menjadi gelap, sayup-sayup kudengar murid-murid di bawah menertawaiku.
disadur dari:
fiksimini RT @har_fit: PERJUANGAN. Angin bertiup kencang. Bendera mati2an memegang tiang.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Ah, aku suka :) Cerpen Bintang seperti biasa, biar simpel tapi kayak ada apaaaaa gitu.
BalasHapusUm, tapi yang ini kayak kurang gereget B..
FM dan cerpennya emang keren! Imajinatif banget. Setuju sama Egi, cerpennya Bintang sederhana tp bikin penasaran. Cuma kurang dikit di emosinya, Abi :)
BalasHapuskreatif, jempol 5 buat cerpen ini, :)
BalasHapuswow keren banget ini!
BalasHapussukaaaaa