By : Keenan Timotius
“Saya mau pegang Italia!” pinta seorang lelaki paruh baya di hadapanku. “Taruhannya agama saya…”
Aku terbelalak. Baru kali ini ada orang gila masuk ke tempat ini. Mungkin sebaiknya aku mengecek apakah ada RSJ yang kehilangan pasiennya hari ini. Lagipula, bagaimana caranya mengkonversi nilai taruhan kalau yang dipertaruhkan itu adalah agama? Kalau nyawa sih tidak apa-apa. Dia kalah, nyawanya melayang. Gampang. Kalau agama?
***
Mungkin bapak ini berkata jujur. Dia mengaku bahwa dirinya adalah seorang pengemis, bukan pasien RSJ. Dia juga bisa mengidentifikasi lokasi tempat dia biasa nongkrong dengan sangat jelas. Bahkan saking semangatnya, dia berniat membawa teman-teman seprofesinya hanya untuk bersaksi akan pekerjaannya itu. Pakaian morat-marit yang menurutku mirip ijuk sapu dipadu dengan topi pemburu yang sudah sangat usang, serta celana panjang yang berbau minyak dan banyak debunya, sudah cukup membuatku yakin. Cukup.
“Apa tujuan bapak sebenarnya datang ke sini?” nada suaraku kuusahakan setegas mungkin.
“Ya mau taruhan lah..Emang mau ngapain lagi?” jawabnya enteng.
“Lalu, kenapa jaminan yang bapak pertaruhkan itu agama bapak? Kenapa tidak benda yang lain? Yang lebih mudah ditaksir nilainya?” selidikku lebih jauh.
Dia mendesah. “Emangnya kamu pikir saya punya apa? Semua yang ada pada saya, orang lain saja sudah jijik melihatnya. Tidak bernilai lagi. Satu-satunya yang saya rasa berharga yang masih saya miliki hanyalah keyakinan saya. Agama saya.”
Aku makin bingung. “Lalu, kalau itu satu-satunya hal yang berharga buat bapak, kenapa justru merelakannya untuk sesuatu yang belum pasti bapak dapatkan?”
Kali ini dia tersenyum. “Anak muda, sebelum datang kesini saya sebenarnya sudah lebih dulu bertaruh dengan Tuhan.”
Aku terperanjat. Benar-benar gila orang ini, pikirku.
“Apa yang bapak pertaruhkan dengan-Nya?”
“Kalau Tuhan tidak peduli lagi padaku, Dia akan membuatku kalah malam ini. Lalu, buat apa lagi kupertahankan imanku pada-Nya? Aku akan sangat lega membuang keyakinanku kalau aku kalah.”
Aku belum mengerti. Jujur. Tapi aku rasa tidak ada gunanya lagi bertanya lebih jauh. Makin pusing nanti jadinya. Akhirnya aku permisi sebentar menuju ke ruangan bos besar. Bandar pasar taruhan di tempat ini.
***
“Ah! Gila kau! Tidak ada untungnya itu buat kita. Pake lah logika kau sikit. Emang kau bisa beli makan pake agama orang, hah??” Si bos menatapku remeh. Dia juga sama kagetnya denganku ketika kuceritakan ihwal taruhan si bapak pengemis itu.
“Dino, dari muka kau kayaknya kau kasihan ya ama bapak-bapak itu. Tapi yang realistis lah sikit. Jelas-jelas impossible kalo kita terima tawarannya itu. Ahli taksir harta terbaik di republik ini pun pasti angkat tangan kalo disuruh menaksir nilai agama. Kau udah tahu-nya apa yang harus kau buat sekarang. Lakukanlah itu, oke?”
“Oke bos.” Jawabku pelan. Dalam hati aku bergumam. Sebenarnya ada yang bisa menaksir nilai agama. Tanya saja sama anak SD. Pasti dia bilang diantara angka 5-9, tergantung nilai agama di rapornya.
***
“Wah! Sombong kali bosmu itu. Apa tak punya agama dia?”
“Pak, memang logis kalau tawaran bapak itu ditolak. Sangat susah mencari perbandingan nilai suatu agama. Lagipula, kami tidak mungkin digaji dengan agama orang lain.”
Ia terdiam untuk beberapa saat. Agak miris memang, karena aku sadar betul bahwa dia butuh uang untuk hidup. Dan di tempat ini, umumnya minimal jumlah uang kemenangan sebuah taruhan setara dengan gaji PNS per bulan. Tapi apa boleh buat, memang harus begini akhirnya.
“Ini ada sedikit sedekah dari saya pak, terima saja sebagai permintaan maaf.” tandasku sambil menyodorkan selembar uang 50 ribuan.
Dengan agak ragu-ragu, dia akhirnya menerimanya. “Terima kasih dik. Semoga amal ibadah adik dibalas Tuhan. Tuhan yang adik percayai tentunya.” tukasnya sambil berlalu.
Aku tersenyum mendengarnya. Amal? Aku sudah lama sekali tidak salat. Selain itu, profesiku ini adalah profesi illegal. Tidak ada halalnya ditinjau dari sisi manapun. Tapi setidaknya aku masih punya belas kasihan untuk orang-orang seperti bapak pengemis tadi.
***
Ditemani oleh playlist favoritku, aku tidur-tiduran di sofa ruang tamu. Benar-benar pengalaman aneh tadi, pikirku. Seorang bapak yang sanggup mempertaruhkan keyakinannya hanya untuk sedikit uang. Namun aku sadar, uang itu dipakai untuk menyambung hidup. Mungkin dia sudah bosan jadi pengemis. Mungkin dia ingin merintis usaha kecil-kecilan. Mungkin dia ingin beli baju baru. Mungkin besok anaknya ulang tahun, dan dia ingin membelikan sebuah hadiah sederhana. Mungkin.
Aku merenung. Menurutku, dia sudah memenangkan taruhannya dengan Tuhan. Dia sudah membuktikan secara tidak langsung bahwa Tuhan masih peduli padanya. Tuhan tidak mengizinkan dia untuk ikut taruhan agar dia tidak kalah dan meninggalkan Tuhan. Mungkin Tuhan masih punya rencana lain buat dia. Rencana yang lebih baik.
Aku tersenyum ketir. Tahu apa kau tentang Tuhan, tanya hatiku. Ah! Aku memang tidak tahu apa-apa tentang Tuhan, tapi yang jelas belum terlambat bagiku untuk mencari tahu tentang Dia. Dimana alamat-Nya, apa saja hobi-Nya, makanan kesukaan-Nya, dan lain-lain. Mungkin Tuhan juga yang menegurku hari ini, lewat kisah taruhan gila si pengemis.
**** SELESAI ****
fiksimini RT @Nathan_Arieezz : "Taruhannya apa?" "Agama saya.."
+100
BalasHapus