By : Keenan Timotius
Deadline naskah ini kurang dari 24 jam lagi. Tapi justru di ujung jurang, ada masalah krusial menghampiri. Ya! Pena dan kertas yang membantuku mendadak mengundurkan diri.
**
Namaku Joni. Mahasiswa tingkat akhir, single, Kristiani, Jawa darah murni, tinggal di Palembang. Pekerjaan sampinganku adalah sebagai penulis naskah film dokumenter, kadang merangkap jadi editornya juga. Lumayanlah untuk membiayai jajan tiap hari. Sangat menyenangkan memang..
Namun kali ini kondisinya terbalik. Karena sibuk mengurus seminar TA & persiapan wisuda lainnya, aku lupa menyelesaikan sebuah draft naskah yang diadaptasi dari salah satu film sejarah favorit adikku. Yang seharusnya gampang jadi rumit.
Tadi sehabis sarapan, aku duduk di ruang tamu. Menunggu pencernaan bekerja sambil memikirkan calon dialog yang cocok untuk beberapa scene. Ketika sudah mendapat ide yang pas dan bergegas ke kamar, aku kaget melihat sebuah surat berstempel di meja belajarku.
Kurobek amplopnya, kubuka lipatan kertasnya, lalu kubaca isinya. Makin lama kok isi surat ini makin aneh. Kupercepat membaca sampai ke baris terakhir dan kutemukan nama penulisnya. Pena dan kertas.
Sial! umpatku dalam hati. Mereka memang kurang setuju dengan pesan filmnya. Mereka sudah ogah-ogahan membantuku sejak tahu kalau aku yang diminta menulis naskahnya. Mungkin mereka juga sengaja membiarkanku lupa akan deadline ini.
Namun aku tidak menyangka kalau mereka akan setega ini. Meninggalkanku diam-diam dalam suasana genting! Kulirik laptopku yang rusak di sudut meja. Tidak ada cara lain! Aku harus membawa pulang pena dan kertas laknat itu!
**
Panas sekali sore ini. Aku duduk di taman menghadap toko perlengkapan kantor itu. Aku tahu mereka sembunyi disana, karena hanya toko itu tempat yang mereka kenal di kota ini.
Tidak lama kemudian mereka keluar, bersembunyi dalam kantong kemeja si pemilik toko yang kupanggil “Paman Gembul”. Aku segera bangkit dan lari menyeberang jalan sampai-sampai tidak sadar kalau nyawaku ketinggalan.
“Halo paman!” sapaku. Paman Gembul terkejut. Dia menoleh dan tersenyum.
“Eh, nak Joni. Tumben sore-sore gini main ke tempat paman. Ada gerangan apa nih?” tanyanya. Sekilas kulirik kantong kemejanya. Kalian tidak bisa lari lagi!
“Gini paman. Dari semalam pena dan kertasku belum pulang. Jadi aku berinisiatif mencari sendiri. Karena toko ini adalah tempat mereka biasa nongkrong, jadi aku memutuskan untuk mulai dari sini.” terangku.
“Wah, paman gak lihat mereka seharian ini lho, nak Joni. Mungkin mereka tersesat di suatu tempat di rumah nak Joni.” Paman Gembul mengeluarkan peluru alibinya.
“Atau mungkin mereka tersesat di kantong paman kali..” tembakku cepat.
Paman Gembul tak bisa mengelak sekarang. Dia sudah mati kuda, bukan kutu lagi. Keringat dingin yang mengalir di lehernya mengucapkan salam padaku.
“Baiklah! Kami menyerah!” teriak sesuatu dari dalam kantong kemejanya. Perlahan pena keluar lalu kertas menyusul. Mereka terlihat cemberut. Setelah berpamitan singkat pada Paman Gembul, langsung kubawa mereka pulang.
Mereka akhirnya bercerita di rumah. Mulai dari scene yang bertentangan dengan pendapat mereka, kesal dengan sikapku yang keras kepala, hingga rencana pengunduran diri itu.
Aku tidak bisa memberi respon apapun. Tepatnya belum. Namun karena waktuku tidak banyak lagi, kuputuskan untuk mengusulkan sebuah solusi sehabis makan malam.
**
“Jadi teman-teman, bagaimana dengan usulku tadi?”
Mereka berdua saling lirik, lalu berunding. Akhirnya kertas berbicara, “Baiklah! kami setuju membantumu asalkan kau menepati janjimu sesuai usul tadi.”
Rasa legaku jadi kuadrat! Kami pun bergegas menyiapkan segala perlengkapan yang dibutuhkan. Hanya 5 jam tersisa menuju deadline. Malam ini akan menjadi malam yang sangat panjang.
**
Ruang rapat sudah mirip pasar pagi. Hampir semua pihak yang terlibat sudah hadir. Editor, casting supervisor, penata rias, sutradara, notaris, hingga tim marketing. Aku masuk, lalu memilih tempat duduk di tengah untuk memudahkanku mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan, siapa tahu ada tikus buronan kucing kantor lewat.
Tepat jam 10.15 rapat dimulai. Di sesi awal aku mendengarkan saja. Ingin tahu pendapat orang lain tentang proyek film ini, terlebih untuk mengenal cara pandang mereka satu-persatu.
“Mas Joni, saatnya anda presentasi. Waktu & tempat dipersilahkan,” undang produser setelah setengah jam berlalu. Ini dia saatnya!
Presentasi berlangsung mulus seperti kulitku. Tidak banyak komentar yang dilontarkan. Mungkin ini efek dari pertemuan kilat pagi tadi. Rapat terbatas yang digagas sang sutradara itu diluar dugaan langsung meloloskan draft naskahku, setelah melalui proses editing tentunya.
Selesai rapat, aku meminta izin untuk ngobrol dua belas mata + tangan + kaki dengan produser. Dia mengiyakan & menyuruhku menunggu di lobi. Setelah selesai bercengkerama dengan koleganya, ia datang menemuiku.
“Ada apa Jo? Ada sesuatu yang mengganggumu seputar rapat tadi?” tanyanya.
“Oh, bukan soal rapat barusan, Mas. Yang pengen saya bicarakan itu justru tentang naskah saya. Saya minta dalam credit-title nanti yang dipublikasikan sebagai penulis naskah itu adalah pena dan kertas saya.”
Si produser jelas kaget. Tapi setelah mendengar penjelasanku yang memang ngawur, dia akhirnya setuju.
“Terserah kamu aja Jo. Gimana baiknya buat kamu aja.” tutupnya.
Aku pun pulang dari kantor sambil tersenyum. Pena dan kertas pasti senang karena keinginan mereka terpenuhi. Pihak Production House juga gembira karena mereka mendapatkan naskah yang keren. Sedangkan untukku, aku sudah cukup bahagia karena bisa menepati janjiku pada semua pihak.
Disadur dari :
@fiksimini RT @Nathan_Arieezz : “Pena & kertas akhirnya menyerah kalah. Mereka terlihat cemberut ketika kutangkap basah.”
Senin, 17 Januari 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar