By : Keenan Timotius
“Nama kamu?” tanya seorang petugas pada sang pencopet. “Telat pak..” jawabnya cepat. “Baiklah kalau begitu. Kita tunda pemeriksaan ini sampai nama kamu datang!”
***
Kejadian tersebut adalah pengalaman kesekian yang membuatku kesal. Apakah tingkat kedisiplinan orang Indonesia sudah sangat parah, sampai-sampai nama saja bisa terlambat datang? Ah! Kutendang botol minuman yang ada di dekatku.
Dari kecil aku selalu mendapat didikan agar menghargai waktu dan orang lain. Salah satu caranya adalah dengan tepat waktu, baik dalam pengerjaan tugas maupun soal kehadiran, apalagi soal JANJI!! Orang tuaku sangat ketat untuk hal-hal seperti ini.
Sejauh ini aku hampir selalu bisa mengemban amanah di atas dan kadang-kadang kesuksesan itu membuatku sombong. Menganggap remeh orang lain, terutama yang suka telat. Dari masa sekolah, kuliah, sampai bekerja sekarang pun perasaan itu masih sering muncul.
Aku juga sering geram melihat teman-temanku yang terlambat, dalam hal apapun itu. Rasanya ingin sekali menjitak kepala mereka dan mendampratnya habis-habisan. Yang lebih menyebalkan lagi kalau berjanji tapi telat dipenuhi. Janji bertemu jam sekian, datangnya 2 jam kemudian. Janji tugasnya kelar besok, eh besoknya minta tambahan waktu lagi. Paling parahnya adalah ketika orang yang berjanji sama sekali lupa akan janjinya. Biasanya kasus seperti ini berakhir dengan pemutusan hubungan secara sepihak alias tidak berteman lagi.
***
Logika yang menjadi senjata andalanku adalah ‘telat itu mengganggu segala sesuatu.’ Pekerjaan A yang seharusnya bisa selesai cepat jadi lambat. Rencana jalan-jalan bersama yang seyogianya santai jadi serba buru-buru. Masih banyak contoh yang lain dan aku jamin itu semua merugikan!
Kalau dipikir-pikir, banyak loh alibi untuk keterlambatan seseorang. Alasan yang sangat mendesak, bencana yang tidak bisa dihindari, sampai alasan yang berupa hasil karangan kilat + bumbu senyum selebar mungkin.
Ada juga orang-orang yang kecanduan telat. Aku lebih heran sekaligus geram melihat manusia tipe ini. Mungkin penyakit ini bisa merajalela karena sanksi yang diterapkan tidak tegas.
Sifat yang paling mencolok dari para pecandu telat adalah selalu bersikap seakan dia sudah menyesal sekali, tapi besok diulangi lagi. Dia tidak pernah sadar bahwa kesalahannya itu punya dampak yang sangat besar buat orang lain.
Seorang teman kuliahku dulu adalah pecandu telat. Saking parahnya, sampai ada lelucon khusus tentang kebiasaannya itu. “Kalau nanti dia melamar pekerjaan, bayangannya sudah ikut wawancara, badannya masih gosok gigi di rumah.”
Aku merasa lebih nyaman setelah masuk dunia kerja karena lingkungan dan orang-orangnya sudah profesional. Tapi ketika kembali ke rumah, muka terlipat dan hati mendongkol kembali menjadi menu utama sehari-hari. Oleh karena itu aku agak malas nimbrung di kegiatan RT/RW tempat tinggalku.
Telat membuat proses segalanya jadi rumit, susah, dan tertunda-tunda. Telat sangat mungkin jadi penyebab timbulnya konflik baru atau hilangnya kepercayaan. Walaupun ada juga orang yang mensyukuri telat, khususnya orang yang sudah sekarat. Dia berdoa supaya malaikat maut tersesat sehingga telat mencabut nyawanya. Ada-ada saja, pikirku.
***
Dari sekian banyak pengalaman mengesalkan, aku memilih untuk bercerita tentang pengalaman yang ini saja. Waktu itu aku baru keluar dari supermarket menenteng belanjaan menuju mobilku. Aku tidak sadar bahwa ada yang mengikutiku, apalagi keadaan tempat parkir pagi itu ramai sekali. Dengan santai kuhampiri bagasi, meletakkan belanjaan, dan saat merogoh kantong belakang celana untuk mengambil kunci mobil, aku baru sadar kalau dompetku sudah raib.
Kulirik ke kiri ke kanan, melihat siapa yang kira-kira mencurigakan, dan.....disana! seorang anak remaja tergesa-gesa melewati kerumunan orang. Dia melihat sekilas ke belakang dan menatapku. Seketika itu juga dia berlari cepat menerobos orang banyak.
Aku berteriak, “COPET!” sambil menunjuk anak itu. Spontan saja banyak yang panik, tapi beruntung ada satpam yang tanggap dan langsung mengejar ke arah yang kumaksud. Aku mengikuti si satpam berlari dan tidak lama kemudian pencopet itu tertangkap.
Sampai di kantor polisi, aku dimintai keterangan sekaligus mengembalikan dompetku yang dicopet. Aku tidak segera pulang setelah semua urusan selesai, karena aku penasaran ingin melihat sendiri apa yang akan diperbuat polisi pada anak ini. Yah! Bagaimanapun dia masih remaja yang mungkin terpaksa jadi pencopet.
Petugas di ruangan itu tidak keberatan dengan permintaanku menyaksikan proses pemeriksaan. Aku pun sudah tidak sabar untuk mendengar cerita pencopet cilik ini. Tapi baru satu pertanyaan yang diajukan, perutku sudah terasa mual dan tanganku gatal ingin memukul.
Bagaimana mungkin namanya bisa telat? Namanya memang si “Telat” atau dia tidak mau mengaku atau bagaimana?!? Emosiku sudah siap menyembur, tapi aku berhasil menahan diri & memilih keluar ruangan.
Rasa iba yang sempat muncul tadi sudah rusak gara-gara jawaban singkat yang menurutku SANGAT TOLOL! Sesaat kemudian, aku merasa dia harusnya mendapat bogem matang dulu dari orang-orang di tempat parkir supermarket tadi.
Aku berusaha menenangkan diri didalam mobil. Mau kapan majunya Indonesia kalau begini??? “Benar-benar zaman EDAAANNNN!!!” teriakku sekeras-kerasnya....
***
Kalau si telat ingin menebus dosanya padaku, ada 1 cara yang mungkin dilakukannya. Ketika nanti Tuhan memerintahkan malaikat-Nya memulai proses kiamat dunia, aku harap si telat yang datang lebih dulu membawa surat perintah-Nya dan mengumumkan ke seluruh penjuru bumi. Saat itulah aku akan berdamai dengan telat. Pada akhir segala sesuatu.
Mudah-mudahan saja si telat datang tepat waktu. Masa dia mau mengecewakan Tuhan juga??? Biarlah! Tempatnya memang di neraka!
***Selesai***
Disadur dari:
fiksimini RT @Nathan_Arieezz telat datang tepat waktu. Ia membawa surat perintah kiamat dunia dari Tuhan.
fiksimini RT @Nathan_Arieezz "Nama kamu siapa?" "Telat, pak." "Kalau begitu, kita tunda dulu sampai nama kamu datang."
fiksimini RT @Nathan_Arieezz "Teman saya sudah datang." "Mana?" "Kenalkan. Ini bayangannya, tubuhnya menyusul."
wah saya orang suka telat nih..
BalasHapuskalo anda memang berpikiran seperti itu..
apa yg seharusnya saya lakukan untuk menghilangkan kebiasaan saya ini??