Prang…! Ini cermin yang kesekian kalinya ia pecahkan setelah empat kali operasi wajah. Hartanya hampir ludes. Jika dihitung, kekayaan Dina hanya cukup untuk biaya dua operasi lagi.
***
Doni datang dengan wajah ditekuk. Ia berdiri beku di depan Dina. Matanya sembab, rambutnya acak-acakan terpantul pada pecahan kaca yang berserakan.
Tabloid yang digapit di ketiaknya terjatuh.
Dina melihat sekilas sampulnya. Ternyata sebuah tabloid sinetron. Dina mendadak menyesal telah melihatnya.
“Sepertinya kamu tak pernah menyerah ya..?” cibirnya.
Doni segera memungut tabloid itu dan menggepitnya kembali, “Sudahlah, lupakan!”
“Coba lihat!”.
Rasa ingin tahu Dina tiba-tiba menyeruak.
“Ini kan yang kamu maksud?”
Dina menunjuk bagian bawah sampul. Ada iklan open casting sebuah sinetron stripping disana. Membutuhkan beberapa figuran dan dua orang pendamping tokoh utama.
Sorot mata Doni membenarkan pertanyaan Dina, yang perlahan diikuti oleh anggukan.
“Sekarang sudah tidak mungkin lagi”
Nafas Dina terjun bebas, menghela pasrah. Seolah berniat menjadikannya penyapu masalah.
Ia menatap lama tabloid di depannya. Dengan perlahan, ia mulai membuka lembarannya untuk mencari detil informasi open casting tersebut. Tak lama, ia menemukannya lalu membaca tiap kalimat dengan saksama. Sambil komat-kamit, perlahan ia terduduk.
“Kenapa nggak kita coba”, gumaman Dina nyaris tak terdengar.
Meski pelan, Doni dapat mendengar itu. Sebuah harapan baru tersembul di hatinya.
Dina langsung meninggalkannya & masuk ke kamar.
Tak sampai sepuluh menit, Dina keluar lagi memakai busana yang rapi. Sapuan tipis di wajahnya memang tak mampu menutupi tiga sayatan di pipinya.
Kenangan dari kecelakaan pesawat terbang itu sudah menjadi bagian sejarah hidupnya. Sesuatu yang tidak perlu diungkit-ungkit lagi.
***
“Sepertinya wajah Anda tidak asing ya? Oh, kenapa itu?”
Pertanyaan ini sudah diduga. Spontan Dina mengelus tiga luka kembar di pipi kanannya.
“Tunggu sebentar.. Anda Dina Laturitarty?”
“I…iya..”
“Kecelakaan di Juanda itu ya..?”
Dina mengangguk
“Ehm.. gimana ya…?”
Sudahlah, kalau memang hanya berbelas kasihan, mending tidak usah bah bih buh. Toh, di akhir jawabannya jelas, TIDAK!
“Ehm… kami belum memutuskan di sinetron ini ada bagian yang menggunakan tokoh hantu atau korban kecelakaan sih..”
BEDEBAH!!!
“Terima kasih buat waktunya Mas, saya permisi!”, sentak Dina.
Doni yang dari tadi cuma mengamati di sudut ruangan, terkejut dengan kata-kata yang tiba-tiba menyembur dari mulut Dina.
“Sebentar…! saya sedang mempelajari peluang”, kata sutradara.
“Sudahlah, Mas!”
Dina melempar tabloid SINETRON yang dari tadi digenggamnya. Ia segera meluncur. Hadangan Doni tak mampu membendungnya. Ia melesat keluar.
“Ehm…Mbak Dina…!”. Teriakan sutradara tak menghentikan langkah Dina.
***
“Dina…!”
Tak ada sahutan dari dalam kamar.
“Jelaskan dulu ada apa, Dina?”
Pertanyaan bodoh. Sudah jelas kan masalahnya apa?!
“Gimana?” Tiba-tiba Anton muncul.
“Sutradara menolaknya”, jawab Doni sambil mengangkat kedua bahunya.
“Dina… semua akan baik-baik saja. Kita bisa atur strategi lagi”, rayu Anton dengan mendekatkan bibirnya di pintu.
Tak ada jawaban.
“Ton, tolong! Jangan-jangan dia bunuh diri!”, nada Doni mulai meninggi sambil mengguncang kedua bahu Anton.
“Nggak akan, Bro. Itu bukan style-nya Dina. Santai, semua akan baik-baik saja. Biar aku urus”. Anton memang lebih mengenal Dina, meski Doni adalah orang yang selalu ada di sampingnya.
Anton segera berlalu. Sementara Doni seperti tercekat. Ingin berteriak memanggil Anton, tapi seperti ada keengganan yang mencegahnya.
***
“Halo…!”, dengan enggan Dina mengangkat telepon.
“Mbak Dina, ini Rudi Sudarko. Inget?”
Dina menghela nafas lagi. “Aku tak butuh belas kasihan”, gumamnya.
“Bukan itu maksudnya, Mbak. Saya hanya peduli dengan bakat, bukan wajah. Tentu saja saya lebih suka memoles sinetronnya. Tidak harus mengubah aktornya”.
Dina masih bingung dengan penjelasan si sutradara.
“Mbak Dina mengilhami saya untuk menciptakan…ehm..” diam sejenak “Mondel!”, lanjut si sutradara.
“Model?” desis Dina.
“Bukan model. Mondel, Mbak. Kita akan bikin sekolah mondel. Kita mewadahi setiap bakat istimewa, tidak peduli bagaimanapun kondisinya. Kebutuhan baru diciptakan setelah kita tahu bagaimana kondisi orang tersebut. Kita akan carikan peluang peran yang paling sesuai. Jadi tidak membunuh bakatnya hanya karena kekurangan fisik saja. Peran yang mungkin bisa diberikan juga beragam. Yang penting masih di dunia hiburan. Mereka bisa jadi model, aktor atau aktris, bintang iklan dan lain-lain. Tetapi kita tetap menyebut mereka dengan Mondel. Saya menawari Anda menjadi pengelolanya. Istilahnya, sebagai kepala sekolah pertama untuk sekolah Mondel kita”
Dalam bingung, Dina merasakan siluet harapan.
“Gimana kalau kita ketemu sore ini?”
“Baiklah.” sahut Dina.
“Sebentar! Dari mana Anda mengetahui nomor hp saya?”
“Nanti saya jelaskan semuanya. Sampai ketemu ya”.
Klik, telepon ditutup.
***
Di ruangan yang sama ketika wawancara kemarin, Dina terkejut melihat Anton duduk di samping si sutradara.
“Kok kamu di sini?”
Anton tidak menjawab. Hanya memberi isyarat Dina dan Doni untuk duduk.
“Rudi Sudarko adalah papaku. Aku banyak cerita tentang kamu, bakatmu, semangatmu yang tak kenal menyerah. Tentu saja tidak ketinggalan sifat keras kepala dan gengsimu yang tinggi”, Anton berusaha mengerem tawanya yang hampir lepas.
“Jadi selama ini yang membuat skenario ini kamu?”
“Bukan, hanya kali ini saja. Asal kamu tahu, semua ide yang aku berikan lewat Doni, itu semua dari aku."
“Ok. Kita akan bikin rencana strategisnya. Dan tentu saja kita bikin kontrak dulu”, Pak Rudi memotong percakapan mereka.
Kontrak sudah dibuat. Dengan demikian, Dina resmi berhenti menjadi model dan mulai menapaki dunia baru sebagai pengelola sekolah Mondel.
***
Minggu sore di sebuah café, Doni, Dina, Rudi Sudarko dan Anton bertemu.
“Begini Dina. Semua yang diceritakan tentang kamu oleh Anton, berujung pada permintaan. Sekaranglah saat yang tepat. Anton ingin melamarmu. Tepatnya, saya ingin melamarmu buat Anton”
Dada Dina berdetak kencang. Dunia seperti remang-remang dengan terang dan gelap berkeliaran di matanya. Sesekali dia menatap wajah Doni yang layu dan terlihat pasrah. Wajah itu mendatangkan iba yang dalam. Sementara wajah Anton menunggu dengan keagungan yang menawan.
Ternyata jalan keluar ini mengantarkan Dina pada dua pintu. Apakah Dina akan membuka pintu megah bertuliskan Anton, atau pintu bersahaja yang bertuliskan Doni?
Anda saja yang menjawabnya.....
Disadur dari:
@fiksimini RT @rudicahyo: dia berhenti jadi model setelah wajahnya dibubarkan secara resmi oleh kecelakaan pesawat terbang. (30 Juni 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar