oleh: Drivo Jansen / @drivojansen
Rima Melati.
Ya, nama itulah yang tertulis di luar amplop berwarna biru muda ber-perangko burung garuda lima puluh rupiah.
Tulisan tangan-nya masih terlihat rapih. Serapih memori yang masih tersimpan jelas di dalam benakku.
Dialah orang yang pertama kali mengirimiku surat cinta.
Untuk Kau Seorang,
Terimakasih atas kebersamaan kemarin. Aku sangat menikmati.
Bersepeda melewati tepi pantai dan berakhir di taman kota. Menyenangkan.
Oh iya, jangan lupa janjimu.
Akan ada hari esok untuk bermain seperti ini lagi.
JANJI!
Hanya berisikan sepenggal surat. Tapi mampu membawa senyuman saat aku membaca-nya. Bahkan sampai detik ini. Walaupun sudah tiga puluh tahun berlalu.
Rima Melati.
Wanita itu mampu mengalihkan duniaku. Gadis keturunan Jawa-Bali, dengan mata indah serta paras yang lembut. Ah, SEMPURNA.
Waktu itu awal bulan, ketika pertemuan kami berawal.
Dan segala sesuatu-nya bermula di Stasiun Kereta Api Solo Balapan, ketika sedang mengadakan perjalanan study-tour ke Jakarta dengan seragam abu-abu.
Tak sengaja kita duduk bersampingan. Ah, klise memang. Tapi bukankah segala hal besar itu bermula dari hal-hal kecil?
Sementara kawan-kawan yang lain asik bercanda, kita tak saling bicara hingga kereta melewati tiga stasiun berikutnya.
Itu pun bermula ketika aku meminta cemilan padamu. Lucu kalau diingat, cerita kita berawal karena masalah perut.
Tapi hatimu memang sangat baik. Mungkin kalau kau tidak memberikan cemilan saat itu, tak ada obrolan lanjut dariku. Obrolan lanjut yang bersambung menjadi obrolan hati yang akhirnya membawa kita ke pelabuhan cinta.
Rima Melati.
Ketegaran-mu menggetarkan hatiku. Ketika wajahmu pucat pun, kau masih berusaha memberikan senyum di bibir merah itu.
Aku belajar banyak darimu. Tentang bertahan, tentang kekuatan.
Ketika dinding rahim-mu diterpa badai, kau masih berusaha melengkapiku dengan dinding cinta yang lain.
Dan air mata ku tak kuasa membendung kesedihan ketika kau akhirnya harus menyerah kalah.
Kalah pada kenyataan.
Rima Melati.
Hari ini tepat tiga puluh tiga tahun kau luput dari pandanganku. Walau tidak dari hatiku.
Kupasang ransel, kulangkahkan kaki ke Stasiun Gambir.
Aku akan pergi ke tempat surat cinta ini bermula. Kantor Pos Besar kota Solo.
Akan ku ulang memori kita ke tempat-tempat dimana kita pernah menyemai cinta. Antara Solo dan Jakarta.
Tentu saja bersama ingatan akan imagi mu dalam surat cinta ini.
Rima Melati.
Aku akhirnya sampai di depannya. Bangunan megah ber-arsitektur negara kincir angin ini sudah sangat tua. Tua dalam arti kata sebenarnya.
Wajahnya lusuh. Sama seperti aku, lama tak ada yang merawat.
Aku tahu perasaan bangunan itu.
Dapat kubayangkan ketika pertama kali kau menyambangi tempat ini. Dengan wajah berseri-seri mendekap erat surat cinta itu di pelukmu. Membayangkan wajahku ketika aku akan membuka surat itu perlahan, dan mulai membacanya. Mungkin saat itu, kata BAHAGIA tepat menggambarkan dirimu.
Tapi lihatlah sekarang bangunan ini. Ada papan kecil bertuliskan: “Maaf, bangunan ini ditutup. Info lebih lanjut, hubungi via SMS, YM, Twitter atau Facebook. Tertanda: Kantor Pos!” yang terborgol dengan rantai di depan pintu masuk utama.
Ya, mereka telah merebut kenangan manis tentang kita. Tentang surat cinta ini.
Pantas tak pernah lagi kulihat sesosok manusia yang tertusuk panah cinta masuk ke tempat ini. Jaringan nirkabel telah mengambil alih semuanya.
Rima Melati.
Walaupun waktu merubah semua, kau akan selalu bertahan di hatiku.
disadur dari:
fiksimini RT @drivojansen: Maaf, bangunan ini ditutup. Info lebih lanjut, hubungi via SMS, YM, Twitter atau Facebook. Tertanda: Kantor Pos.
Jumat, 02 Juli 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar