Protected by Copyscape Unique Content Check

Senin, 10 Oktober 2011

Pemberitahuan

Halo teman-teman! Para kontributor maupun penikmat blog, selamat datang dan selamat bertamasya jika anda saat ini sedang berada di laman kami.

Sedikit informasi, buku Antologi Cerpen? Sini! telah terbit dengan judul "RAHASIA RINDU", diterbitkan oleh LeutikaPrio Self Publishing dengan harga Rp 36.300,00 (belum termasuk ongkos kirim).

Bagi anda yang berminat, silahkan memesan kepada moderator blog : Nuzula Fildzah, akun twitter @zulazula atau langsung mampir serta register data diri ke website LeutikaPrio.com, pemesanan diatas Rp 90.000,00 BEBAS ONGKOS KIRIM. Enak gak tuh? :D

Pengumuman berikutnya, sebagian cerpen yang terdapat dalam blog ini akan kami HAPUS karena telah termuat dalam buku Antologi "RAHASIA RINDU". Namun jangan khawatir, cerpen lain yang tidak terangkum dalam Antologi, tetap bisa anda nikmati ketika berkunjung ke blog tercinta ini.

Mohon maaf juga kami haturkan karena blog ini vakum cukup lama dikarenakan kesibukan masing-masing moderator serta lobi-lobi ke penerbit dalam rentang waktu tersebut.

Bagi anda para kontributor lama dan baru, naskah cerita pendek fiksimini akan kami terima lagi mulai 17 Oktober 2011. Naskah silahkan anda kirimkan ke e-mail cerpensini@yahoo.co.id.

Format dan syarat naskah serta tata cara untuk menjadi kontributor dapat anda lihat di blog. Ingat, hanya naskah dari kontributor terdaftar yang berhak dimuat dalam blog ini.

Akhirnya, kami para moderator mengucapkan terima kasih banyak atas dukungan anda sekalian, baik para kontributor maupun penikmat sajian-sajian cerita kami. Enjoy the writing, keep up the good work!!

Salam,

Jona / @bukankah
penggagas blog Cerpen? Sini!

Selasa, 05 April 2011

MAYA

oleh : Petronela Putri

“Apa kamu bahagia?” Ia memeluk tubuhku dari belakang. Aku mengangguk. Pemandangan senja pinggir pantai ini adalah pemandangan yang paling kucintai dalam hidupku. Sore ini, ia mengajakku lagi ke tempat ini untuk kesekian kalinya.
“Ada apa? Tadi kau bilang ingin bicara sesuatu?” Aku melepas pelukannya lalu menatap lelaki-ku itu penuh tanya.
“Aku ingin mengatakan sesuatu.”
Aku menunggu, “Ya?”
“Apa kau mau menikah denganku?” Perlahan tangannya membuka sebuah kotak mungil. Ada sebentuk cincin berlian berkilau didalamnya.
Aku menatapnya sejurus, meraih tangannya dan menggenggam lembut, “Aku..”
“Tidak perlu ragu.. Aku sedang mengurus perceraian dengan istriku. Beberapa hari lagi kami akan resmi bercerai.” Ia berusaha meyakinkanku.
Aku kembali terdiam, haruskah aku menerimanya? Sekarang ia milik wanita lain. Tapi seketika hatiku yang sedang kasmaran menjadi dingin. Siapa peduli? Aku mencintainya dan ia mencintaiku. Lagipula ia bilang akan segera menceraikan istrinya.
Tidak ada waktu berdiskusi dengan hati dan Tuhan sekarang.
“Ya, tentu saja..”
Ia tersenyum puas lalu melingkarkan cincin bertahta berlian itu ke jari manisku. Tanda cinta kami yang aku harap abadi.
***
Di mana ini? Aku tidak bisa melihat apapun. Gelap. Semuanya buyar, kecuali ingatanku tentangnya dan cinta kami. Apa bumi sudah terbelah? Apa air bah sudah menerjang segala? Apa ini adalah kiamat?!
Aku sibuk menelusuri lorong gelap yang seolah tanpa ujung. Aku bahkan tidak dapat lagi merasakan jari-jari kakiku menjejak. Yang kuingat hanyalah secercah cahaya menyilaukan menghampiri dari depan, dan perlahan cahaya itu berubah bentuk menjadi manusia bersayap. Apakah aku sudah gila??
“Tidak perlu takut. Sudah waktunya kamu kembali ke duniamu.” Ia berseru.
“Kau siapa?! Aku dimana?!” Jerit hatiku. Ini aneh! Mulutku seakan tak lagi berfungsi cuma dalam sekejap mata.
Seolah dapat mendengarkan suara hatiku barusan, manusia bersayap yang hanya berupa siluet itu kembali menyahut.
“Tidak penting siapa diriku. Karena yang terpenting sekarang adalah kamu kembali ke duniamu. Hentikan segala kerinduan dan ingatan akan kehidupan duniawimu yang telah lewat. Cegah penglihatanmu untuk tidak menerimanya lagi!”
Tiba-tiba cahaya itu menabrakku, membuat tubuhku terhuyung lemah. Kemudian aku merasakan diriku kehilangan keseimbangan dan jatuh jauh sekali. Hal berikutnya yang kuingat adalah tubuhku telah mendarat di sebuah daerah yang tak kukenal. Otakku lalu berusaha memutar ulang kejadian-kejadian yang kualami sebelumnya.
Bayanganku menjerit di tengah malam saat hujan badai menyerang. Kemudian berganti ke detik-detik tatkala sebuah belati menghujam jantungku berkali - kali. Bahkan aku masih merasakan sakitnya sekarang, juga sanggup membayangkan betapa banyak darah segar yang mengalir dari tubuhku waktu itu. Semua terasa nyata. Amat nyata!
Istrinya.. pembunuh!!
Aku rindu lelakiku!! Apa ia sudah menceraikan pembunuh itu?!
Kutatap jari manisku. Cincin itu masih terpasang mantap disana, bahkan setelah aku terdampar di dunia berbeda. Inikah buktinya cinta kami benar-benar tulus abadi?
***


Disadur dari :
@fiksimini RT @ekawijaya04 MATI SURI. Selama beberapa jam aku melihat dunia nyata.

Jumat, 25 Maret 2011

MENJEMPUTMU

Oleh : Lariza Oky Adisty

Sangatlah sulit menahan jeritanku menerobos keluar kerongkongan. Setelah susah payah menahan, akhirnya kata-kata yang keluar dari bibirku hanyalah, “Ka-kamu?”
“Iya, ini aku. Boleh aku masuk?”
Gemetaran dari ujung kepala sampai ujung kaki, aku mempersilakan ia masuk. Sekilas kuamati sosoknya. Wajahnya kini berhiaskan janggut lebat dan… bekas luka?
“Kenapa kamu luka-luka begitu?” tanyaku tanpa sadar mencengkeram lengan atasnya. Ia meringis sedikit sambil menatapku seolah berkata “Sakit, bodoh!”
Kuhempaskan lengannya. “Duduklah. Biar aku ambilkan minum dan obat.” Tanpa menunggu jawabannya, kutinggal ia ke dapur. Tak lebih dari 10 menit aku sudah kembali menemuinya. Kupersilakan ia menghirup teh buatanku. Jasmine tea. Kesukaannya. Sejak 5 tahun yang lalu.
“Apa yang terjadi padamu?” tanyaku tak sabar, namun ia mengangkat satu tangannya sambil menukas. “Please. Setidaknya biarkan aku mengobati luka-lukaku.”
“Biar aku saja,” bantahku sambil agak gegabah mengambil alkohol, obat merah, dan kapas dari kotak P3K, kemudian dengan cekatan membersihkan luka-lukanya. Sesekali ia meringis ketika tetesan alkohol meresap perih ke luka-lukanya.
“Selesai,” gumamku setelah menutup luka di atas alisnya dengan perban.
“Terima kasih,” ia balas bergumam. Lembut.
“Kamu belum menjawab pertanyaanku. Kenapa kamu luka-luka begitu?”
Ia mengusap bekas luka di dekat bibirnya. “Aku jatuh, Cinta…”
Cin…ta?
“Kamu salah memilih waktu untuk bercanda. Ini bukan lagi 5 tahun yang lalu!” tukasku ketus, namun ia tak mendengarkan, malah terus bercerita.
“Aku jatuh dari sepeda tadi sore di depan Starbucks Coffee. Aku melihatmu keluar dari sebuah butik dan bermaksud mengejarmu, namun sebuah sepeda motor menyerempetku.”
Ah. Tadi pagi memang aku sempat mampir ke sebuah butik favoritku. Tapi…
“Bagaimana kamu tahu itu aku?”
“Kamu memakai jaket yang aku belikan dari tabungan 3 bulan gajiku waktu ulang tahunmu. Aku langsung mengenalinya,” jawabnya ringan.
Aku mengernyit. “Apa maksudmu mengungkit-ungkit hal itu?” tanyaku sedikit tersinggung.
“Karena dari dulu sampai sekarang uangku tidak akan mampu menandingi kekayaanmu, Cinta,” Panggilan itu lagi! “Maaf kalau aku menyinggungmu. Tapi dari tampilan tempat tinggalmu sekarang, sepertinya kamu sudah melarikan diri dari kehidupan mewahmu di Jakarta.”
Huh! Ternyata dia tahu kalau apartemenku ini hanyalah apartemen bobrok untuk ukuran kota New York!
“Pasti sudah heboh diliput pers kan?” aku menanggapi pernyataannya dengan nada sarkastis.
“Memang heboh,” jawabnya singkat. Aku tak berkata apa-apa lagi.
“Pulanglah denganku,” tiba-tiba ia melanjutkan.
“Pulang denganmu??” alisku spontan terangkat.
“Kamu pikir kenapa aku sekarang ada di sini?” tanyanya.
“Aku mendengar kabar pertengkaranmu dengan ayahmu, lalu kamu menghilang,” tukasnya setelah meneguk tehnya lagi. “Dan aku yakin sekali kalau kamu pasti kabur ke New York untuk bersembunyi. Seperti biasa..”
“Tapi ngapain sih kabur jauh-jauh? Sebenarnya di Jakarta juga bisa. Bersamaku,” ujarnya sambil menatapku serius. “Pulanglah bersamaku. Kita naik pesawat kelas ekonomi, transit di Thailand, lalu ke Jakarta. Kamu bisa tinggal di kos adikku sementara sampai....”
“Sampai kapan?!”
“...sampai kamu bersedia menikah denganku. Kita tidak butuh kekayaan ayahmu kan? Aku bisa menyediakan rumah, mobil…walau mungkin tidak seukuran istana Buckingham dan Maserati baru,” tuturnya setengah bercanda.
Pulang. Dengannya. Menjauhi segala kemewahan. Menyingkir dari kungkungan dan aturan…
“Besok saja kupikirkan,” jawabku singkat.
Ia mendengus tertawa. “Aku hafal sekali kebiasaanmu. Kamu pasti tertarik dengan tawaranku, kan?” tanyanya setengah meledek.
“Sialan! Sudahlah, jangan menggangguku terus. Lebih baik kau pulang,” bantahku salah tingkah.
“Bagaimana kalau aku tak ingin pulang? Demi 5 tahun yang hilang?” ia menantangku.
Aku menghela nafas lelah. “Terserah dirimu sajalah.” Tapi setelah itu tak urung aku tertawa juga. Aku rindu suasana rileks seperti ini. Bersamanya.
***
5 jam kemudian,
Target sudah berhasil saya bujuk. Beri saya waktu tiga hari lagi, saya akan bawa dia pulang.
Sesosok pria menulis pesan di ponselnya, kemudian duduk di atas kloset. Menunggu.
Tut! Ponselnya berbunyi pelan.
Bagus. Tiga hari lagi kabari saya saat kalian pulang. Saya akan stand-by di Thailand. Bayaran kamu akan saya transfer hari itu juga. Yang penting anak saya harus kembali hidup-hidup.
Ia tersenyum sambil sedikit meringis menahan sakit. Luka-luka di wajahnya belum sembuh benar. Tapi tak masalah. Yang penting tiga hari lagi ia meraih mimpinya.



Disadur dari: @fiksimini RT @reginahelin: “Kenapa kamu luka-luka begitu?” | “Aku jatuh, Cinta.”