Protected by Copyscape Unique Content Check

Minggu, 12 Desember 2010

SATAN-3

By : Keenan Timotius


MARSEILLE, 01.40 AM -Day 3-

“Jadi, apa saja yang sudah kamu ketahui?”

“Semuanya! Dari warisan ilmu hitam-mu, benih hasil ritualmu yang tak bisa kau hindari, pembunuhan Om Ardi, sampai rencanamu merebut tahta bisnis keluarga Hermawan!!”

Anita natap gue lama. Wajah cantiknya itu sekilas mancarin aura aneh, lalu tiba-tiba ia tergelak. Tawa lengkingnya segera mengisi tiap celah ruangan ini, ngegetarin suasana remang-remang dinihari.

So, Timo, harus kuakui sejauh ini kamu sangat pintar. Dan sebagai penghargaan atas jerih payahmu, kamu boleh hadir di upacara terakhir besok malam.”

Ada darah yang berjingkat-jingkat di pipi gue, dan mata gue mulai berkunang-kunang. Rasa perih dan pegel udah nyampur jadi satu. Gue hanya bisa menunduk, berharap ada keajaiban absurd yang datang kemari.

Lantai batu ini serasa tidak asing, tapi otak gue udah terlalu lemah buat mengolah hasil pengamatan inderawi itu. Tiba-tiba ada pukulan keras dari samping kiri, lalu....gue serasa melayang.

***

TEMPAT TIDAK DIKENAL, WAKTU TIDAK DIKETAHUI

Mobil kami bentar lagi akan masuk jurang, dan sambil ngebuka pintu gue teriak sekeras-kerasnya, “Janggaaaaannnnnnn!!!!”

BYUR!!

CRAS!!

“Selamat pagi, tuan detektif. Bagaimana perjalanan anda semalaman ini? Nikmat?” kata sesosok makhluk dengan tampang aneh didepan gue.

Refleks, gue ingin menampar mukanya, tapi ternyata tangan dan kaki gue terikat ke sebuah pilar. Sambil ngumpulin kesadaran, gue nyoba ngeliat sekeliling. Awalnya bingung, tapi makin lama satu demi satu petunjuk mulai bermunculan. INI HANGGAR KEMARIN, teriak gue dalam hati. Hanya saja, kali ini gak ada pesawat kertas super jumbo kayak di kunjungan gue yang pertama.

Sepintas jauh di depan ada kerlip-kerlip cahaya putih dan merah kekuningan bergantian dari tadi. Anehnya, kerlipan itu muncul secara teratur kayak ketukan nada. Gue penasaran, tapi untuk sekedar menengadah aja susahnya setengah idup. Tak lama kemudian, dari sebelah kanan ada bayangan orang mendekat. Perlahan, ia ngebuka ikatan kaki gue dan maksa gue untuk duduk.

Setelah kepala gue nyandar di batang pilar dan gue bisa narik nafas normal, barulah pemandangan di depan kelihatan jelas. Cahaya putih itu berasal dari benda mirip mangkuk berbentuk prisma yang berisi air berwarna. Pantulan sinar dari masing-masing warna kemudian nyampur jadi satu di sisi tengah mangkuk sehingga nyiptain warna putih bersih. Baiklah, pikir gue, itu cuma trik lama pembalikan bias pelangi. Tapi gue tetap kagum ama jangkauan sinarnya yang menyilaukan.

Waktu gue memalingkan muka dan ngeliat ke sumber cahaya merah kekuningan, mata gue sontak melotot. Ada kotak kaca transparan yang besar berisi 2 orang yang disalib pake rantai dan terkatung-katung diatas bara api. Lolongan pedih mereka teredam ama dinding kotak kaca itu.

Gue gak tahan ngeliat penderitaan mereka, dan yang bisa gue lakuin hanyalah merem atau menunduk. Tapi tiba-tiba ada yang mencengkeram dagu gue dan mendongakkan kepala gue menghadap ke arahnya. Saat gue lihat siapa orang itu, saat itu juga pengen gue ludahin dia.

“Timo, kamu sudah jadi anak baik hari ini, karena menikmati pertunjukan yang kami suguhkan tanpa banyak tingkah. Tapi kamu sebenarnya bisa lebih baik lagi, asalkan kamu mau menjawab tiap pertanyaan yang aku ajukan dengan baik.” Tangannya bergerilya di sepanjang pipi, belakang telinga, rambut, sampai pundak gue.

“Apa yang mau kau tahu, wanita jalang?!”

Anita gak merespon hinaan gue, malah dengan santai dia menarik satu kursi kayu dan duduk didepan gue. Wajah kami sekarang udah deket banget, bahkan gue bisa ngerasain deru nafasnya dan nyium bau parfumnya.

“Kita mulai dari pertanyaan sederhana aja. Sejak kapan kamu mulai ngikutin gerak-gerik kami?” mata birunya benar-benar penuh godaan saat ngelirik gue.

Gue bungkam, sambil buang muka ke arah yang lain. Ini salah satu cara untuk ngelak dari tatapan mautnya yang udah terkenal mampu menggoyahkan iman.

Tapi Anita bukanlah tipe cewek yang gampang nyerah. Jari-jarinya mulai berkutat di terusan kemeja gue, bermain-main di sekitar kancing.

“Apakah sejak Om kamu yang menggairahkan itu meninggalkan catatan kecil tentang gigolo langgananku, yang menuntunmu untuk datang ke Roma?”

SIAL!! Ternyata kecurigaan gue benar bahwa dia cewek biseksual. Satu rahasia lagi yang terkuak dari karakter kelam seorang Anita Judith Hermawati. Ini entah udah lapisan rahasia yang keberapa, tapi gue bakal benci banget kalau masih harus ngebongkar lapisan yang mungkin masih ada di bawahnya. Muak ngedengar isinya!!

“Jadi kau sebenarnya sadar kan kalau aku sudah membuntutimu dari Roma? Kenapa tidak langsung saja meringkusku, biar kalian semua bebas melanjutkan misi terkutuk ini, HEI PARA BANCI KERIPUT??!!” teriak gue pada bodyguard-bodyguard Anita yang berdiri agak jauh dari tempat gue.

Serentak, mereka saling pandang, lalu tertawa sejadi-jadinya. Gue bingung, gak ada yang lucu tapi mereka bisa-bisanya ngakak dengan spontan, seperti robot yang udah terprogram untuk ngasih respon tertentu setiap kali ada stimulan perintah tertentu. Sementara itu, Anita hanya tersenyum tipis ngeliat kelakuan gerombolannya ini.

Di tengah kericuhan itu, Anita membisikkan sesuatu ke kuping gue. “Pikiranmu sudah terjebak, Timo. Kamu terlanjur masuk ke labirin ilusi ciptaanku, dimana belum ada seorang pria pun yang pernah keluar dengan pikiran yang persis sama seperti saat dia masuk pertama kali dengan sukarela.”

“AKU TIDAK PERNAH MASUK KE LABIRIN HARAM ITU DENGAN SUKARELA, NENEK SIHIR BAJINGAN!!”

“Mungkin kamu tidak masuk sendiri, tapi Om Ardi, partner kesayanganmu itu yang membawamu masuk. Jangan lupa kalau dia pernah tergila-gila sebegitu rupanya padaku, Timo. Dan setelah dia sadar akan kesalahannya, semuanya sudah terlambat.”

Gue tercekat mendengar pernyataan itu. “Jadi maksudmu, waktu aku setuju bekerja sama dengan Om Ardi, saat itu juga ikatan mantra dalam dirinya pindah ke pikiranku, seperti parasit yang tidak diundang?”

Anita tersenyum lebih lebar lalu bersuara pelan, “kamu memang pintar, Timo.”

Ketika dia selesai ngomong, sebuah mobil masuk ke pelataran hanggar dan parkir tepat di depan panggung raksasa. Anita langsung berdiri dan berjalan cepat menuju ruang make-up yang terletak di tengah-tengah hanggar. Sementara gue hanya bisa tertunduk lesu karena baru menyadari kecerobohan yang harusnya bisa lebih cepat diantisipasi. Rontaan 2 korban di depan sana juga udah gak kelihatan lagi. Tubuh mereka udah abis dilalap api. Cahaya putih itupun udah berhenti berkedip.

Selanjutnya terdengar pintu mobil berdebam dibuka, diikuti seorang cowok bertopeng dan berjubah panjang merah marun keluar sambil menenteng sesuatu yang terbungkus kain. Menilik lekuk fisiknya, gue langsung lemas. Sang Benih udah sampe.



-bersambung-

Disadur dari :

fiksimini RT @candramalik : “Saksi? “Siksa!”

Kamis, 09 September 2010

SATAN-2

Oleh : Keenan Timotius


PARIS, 01.30 PM

Gue berjalan keluar dari gedung museum, memandang sebentar ke puncak menaranya. Sinar matahari tak bisa menembus sisi-sisi samping bangunan yang berbentuk oval. Tempat ini lumayan sejuk buat mereka untuk ngelakuin eksperimen kecil-kecilan, pikir gue. Suhu yang stabil saat tengah hari serta area yang jarang dilalui pengunjung makin mendukung teori gue, terlebih lagi medan magnet di sekitar sini sangat kuat, sampai-sampai kompas andalan gue pusing dengan gaya tariknya.

Tanpa sengaja, mata gue menangkap sebuah bentuk aneh di lantai pualam dekat gerbang utama. Sebuah jejak mirip tangan seseorang yang berlumuran oli. Senyum gue makin mengembang saat mendapati noda darah kering di sebelah jejak itu. AHA! Ada yang sempat memberi perlawanan rupanya!

***

03.20 PM

Dokumentasi tertulis tentang observasi hari ini udah hampir kelar. Musée des Beaux-Arts de la ville de Paris ternyata benar adalah salah satu point-cross yang harus dilewati Anita dalam ritual pembalikan ilmu hitamnya. Ini sesuai dengan dugaan Om Ardi yang memang sempat membongkar file-file pribadinya sebelum bertolak ke Sevilla sebulan yang lalu. Nah sekarang, petunjuk berikutnya telah tersedia: noda darah yang udah dikonfirmasi laboratorium sebagai milik Om Ardi. Awalnya gue shock, karena fakta ini berarti mereka udah mencium gerak-gerik informan utama gue yang ngebuntutin mereka selama sebulan terakhir. Dan gue makin takut saat mencoba ngebayangin apa yang udah mereka lakuin ke Om Ardi.

Tadi sehabis dari laboratorium, gue mampir ke tempat Om Ardi nginap di Paris. Gue pikir gue masih bisa ngeliat dia disana, tapi begitu sampai, harapan itu langsung nguap. Kamarnya udah porak-poranda. Sialnya lagi, gue gagal mendapatkan petunjuk penting dari benda-benda yang berserakan. Di atas meja hanya ada buku sakunya, dan tulisan terakhirnya berbunyi kayak gini :

Timo, je ne peux pas....Beaux-Arts...mon bébé... º

Otak gue langsung runyam. Hilang arah. Belum abis efek shock tadi, sekarang teka-teki baru muncul lagi. Sepertinya ada banyak lapisan rahasia yang jauh lebih dalam daripada dugaan gue, terbentang di antara Om Ardi dan Anita. Seperti ada lava aib dan amarah yang udah lama teronggok beku dalam memori kedua belah pihak, dan baru meledak sekarang.

***

05.29 PM

Setelah ngabisin kira-kira 40 menit buat mikir, akhirnya gue mulai bisa menganalisis tulisan di buku saku itu sambil merekaulang potongan-potongan peristiwa ajaib dari beberapa waktu ke belakang hingga sekarang.

Analisa pertama gue adalah: kenapa Om Ardi menulis kalimat itu dalam bahasa Prancis, bukan bahasa Indonesia? Bisa jadi Om Ardi sengaja, biar kalimat-kalimat itu jadi privat, antara dia dan gue aja. Dia takut kalau orang suruhan Anita sampai lebih dulu di penginapan Om Ardi di Paris.

Analisa kedua gue: mon bébé = bayi saya.. Sejak kapan Om Ardi punya anak? Setahu gue dia belum pernah nikah. Trus kalo beneran dia punya anak, mamanya siapa? Apa hubungannya ama Anita dan gerombolannya??

Analisa terakhir: bisa jadi isi kantong plastik hitam jumbo yang gue lihat di hotel tempat Anita nginap itu adalah tubuhnya Om Ardi. Kalo itu benar, trus yang ngasih info tentang penerbangan ke Paris, museum, dan alamat Om Ardi kemarin malam siapa yaa?? Lalu, kalau Om Ardi memang sudah terbunuh 2 hari yang lalu di Roma, lantas kenapa jejak darah dan tangannya masih ada di Paris dalam kondisi yang masih baru?? Jangan-jangan........INI SEMUA HANYA JEBAKAN PIKIRAN!

Seketika keringat dingin menyapa kening gue. Tapi rencana harus tetap berjalan. Point-cross berikutnya ada di Sevilla, Spanyol. Di sanalah sang benih itu akan dikorbankan untuk menuhin syarat kelayakan masuk ke fase ritual pamungkas. Gue harus bergegas mencari tahu jalur mana yang akan diambil Anita dan gerombolannya untuk nyeberang dari Prancis ke Spanyol. Untungnya, sebagai penulis memoar hidup Anita, gue punya akses khusus untuk memantau aktivitas pribadinya sehari-hari. Dan kali ini, berdasarkan catatan harian gue tentang kebiasaan hariannya, kayaknya gue bisa menebak kemana dia akan pergi, walau masih mengandalkan intuisi belaka.

***

BANDUNG, sebulan yang lalu

“Om serius mau berangkat hari ini? Gak nungguin aku dulu?”

Gak bisa, Timo. Terlalu banyak waktu terbuang itu tidak baik. Lagian, majikan kita sudah berangkat ke Sevilla subuh tadi. Kamu ingat kan, berdasarkan fakta yang kita punya, bahwa di Sevilla adalah awal dan akhir ritual itu. Jadi aku yakin benar, dia akan segera memulai proses ritualnya sesampainya di sana.

“Termasuk ritual seksual itu?”

“Iya. Sebelum benih dan tumbal itu lenyap, dia tidak akan bisa memperoleh bagian di dinasti keluarga Hermawan. Itu pasti.”

Gue terdiam sebentar. “Lalu, apa yang harus aku lakukan?”

Om Ardi menatap gue tajam. Keriput di wajahnya mendadak tertarik ke dalam sambil telapak tangannya yang besar menepuk bahu gue. Wajah tegas ala militer khas masa mudanya kembali muncul. “Kamu penulis memoarnya. Jadilah berani dan tuliskan kebenaran. Jika aku gagal membunuh hatinya, kamu harus selamatkan benih itu. Dia akan jadi saksi hidup tulisanmu tentang si sosialita, Anita Judith Hermawati.”

***

MARSEILLE, 08.26 PM

Anita gak akan nyebrang ke Spanyol via jalan darat. Ia pasti milih kapal laut yang sesuai dengan hobinya berpesiar. Dan karena kota ini adalah kota pelabuhan paling gede di Prancis, mereka punya banyak pilihan rute dan jenis kapal tanpa terburu-buru. Selain itu risiko dicurigai jelas lebih sedikit.

Begitu sampai di pelabuhan, gue langsung mengamati sekeliling, mencoba menebak kira-kira kapal kayak apa yang bakal mereka pake. Gue rasa, Anita tetap memanfaatkan status sosialitanya demi kelancaran koneksi, dan itu adalah jejak yang gampang untuk diendus.

Bonsoir monsieur.. ça fait combien, ce ticket?” ¹

Il fait 9,30 €.” ²

C’est trop cher pour moi. Vous pouvez faire une petite réduction?” ³

9 €. Pas moins *

8,30 €. Allez!” ^

8,30 €, mais c’est mon dernier prix!” *^

D’accord..” **^

Setelah berdebat dengan si calo tiket, akhirnya gue bisa dapat tempat duduk eksklusif di dek kapal ini. Kerjaan selanjutnya tinggal berdoa agar tebakan gue benar. Namun saat gue merem, bayangan ketakutan gue atas perlakuan gerombolan Anita terhadap Om Ardi hadir lagi. Tiba-tiba pikiran gue kembali penuh dengan rasa geram. Tenang Timo, saatnya belum tiba..

Gak lama berselang, terlihat 4 orang cowok tinggi dan relatif kekar berjalan cepat dari arah timur sambil mengapit seorang cewek di tengah, menuju kapal yang gue tumpangi. Begitu siluet mereka terpapar cahaya lampu jalan, gue langsung berjingkrak senang dalam hati. ITU ANITA!!


-bersambung-

ºTimo, aku tidak sanggup..Seni Rupa..bayiku..

¹Selamat malam, tuan. Berapa harganya, tiket ini?

²harganya 9,30 euro

³itu terlalu mahal buat saya. Anda bisa kasih diskon kecil gak?

*9 euro. Gak kurang lagi.

^8,30 euro. Ayo!

*^8,30 euro, tapi itu adalah harga terakhir dari saya!

**^setuju.


Disadur dari:

fiksimini RT @salmanaristo : “Benih?” “Bunuh!”

Senin, 06 September 2010

Bisnis Merger Budaya

by: Keenan Timotius

Lama-lama, aku jadi kesal bekerja di kantor ini. Tiap kali aku dan pacarku hendak berciuman, kami harus menyingkir dulu ke bagian barat gedung karena di bagian timur ada larangan bermesraan di depan umum. Budayanya berbeda.

Sebagai karyawan asing, wajar kalau awalnya aku merasa aneh dengan segala kebiasaan di sini. Kadang-kadang, aku merasa seperti berada di kembaran Tembok Berlin. Tapi, di tengah krisis global seperti sekarang, punya pekerjaan saja sudah bersyukur sekali. Jadi, aku tidak punya pilihan. Suka tidak suka, semua rutinitas ini harus kuikuti.

* * *

Perusahaan ini, pada awalnya, bergerak di bidang konsultasi psikologi. Tapi, lambat laun, bisnis garapannya berkembang dan mulai merambah ke berbagai bidang lain. Salah satunya adalah healthy and sport—bidang favoritku, divisi di mana aku menjabat sebagai manager operasionalnya.

Sebelum go public, pemilik perusahaan ini adalah sebuah keluarga Arab. Saat ini, sahamnya sudah tersebar di tiga pihak: sang keluarga Arab, pemerintah Yordania, dan investor dari Eropa. Karena faktor itulah, perusahaan ini bisa melebarkan sayapnya ke seluruh dunia.

Salah satu cabangnya terletak di Qatar, negara tetangga Yordania. Di negara inilah, aku bekerja. Sesekali, terbit rasa rindu pada Indonesia—tanah air mataku. Juga, aku sering kangen pada kehangatan cewek-cewek Perancis yang sempat kunikmati waktu aku kuliah di sana. Ah, bandelnya kenangan hidupku ini!

Perlu anda ketahui juga, di Qatar inilah satu-satunya cabang yang memiliki rekor merger terbesar. Berbagai perusahaan lokal yang tidak sanggup lagi bertahan menghadapi badai krisis akhirnya pasrah di-merger dengan perusahaanku. Nah, berhubung perusahaan lokal pekerjanya adalah warga pribumi, sedangkan karyawan asing mendominasi perusahaanku, maka dicetuskanlah program MERGER BUDAYA.

Program itu meliputi bermacam hal seputar adat-istiadat dan kebiasaan masing-masing. Karena ada dua kelompok budaya besar di perusahaanku, akhirnya disepakati bahwa secara budaya, bagian timur bangunan kantor menjadi milik pekerja pribumi dan karyawan asing menguasai bagian baratnya.

Yang menderita adalah orang asing yang ruang kerjanya berada di bagian timur dan warga pribumi yang berdinas di bagian barat. Mau tidak mau, tiap kali ingin melampiaskan kebiasaannya, mereka harus singgah sebentar ke wilayah kedaulatan budaya masing-masing. Contoh nyatanya adalah saya ini!

Tiap tiga bulan, ada jatah pesiar untuk manager operasional di semua divisi perusahaan. Pacarku—Nicole—biasanya datang saat liburan musim panas dan kami akan berlibur bersama. Lama pesiar berbeda-beda, tergantung pencapaian target pekerjaan. Nah, saat ini, aku kebagian jatah pesiar yang lebih singkat dari manager yang lain. Karena itu, Nicole memutuskan untuk ikut pulang bersamaku ke kompleks perusahaan sambil menghabiskan liburannya di sana.

Kembali ke soal penyekatan budaya tadi. Umumnya, yang sering terheran-heran melihat suasana di kantor kami (bahkan beberapa sampai amnesia, lupa tujuannya datang ke kantor) adalah para tamu bisnis, baik dari daerah Arab dan sekitarnya, maupun dari Eropa—sehingga aula kompleks perusahaan selalu jadi tempat favorit untuk berdiskusi alih-alih di kantor.

Selain itu, tiap hari Jumat, bagian timur akan putih kemilau oleh baju koko, sedangkan tiap hari Minggu pagi, bagian barat akan berantakan gara-gara pesta semalam kesal (suntuk sedang cuti).

Lain lagi soal pakaian dinas. Karyawan di bagian barat wajib memakai jas dan dasi, sementara di bagian timur, karyawannya lebih sering memakai kemeja lengan pendek yang berpadu dengan slayer di leher.

Suasana di meja makan lebih aneh lagi. Bagi orang barat, punya teman kidal itu sudah biasa. Tapi bagi orang timur, makan dengan tangan kiri itu kurang sopan walaupun memakai sendok. Oh ya! Di meja makan tidak ada pemisahan. Jadi siapapun bebas duduk di mana pun.

Beberapa jam yang lalu, seorang klien bisnis baru dari Korea sedang berkunjung. Sama seperti para tamu pendahulunya, dia hampir saja terserang autisme akut begitu menyaksikan suasana di kantor. Lalu, di sela-sela waktunya, dia menyempatkan bertanya padaku,

“Sudah lama kondisinya seperti ini?”

Aku menjawab, “Sudah, Pak.”

“Apakah ada manfaatnya buat kemajuan perusahaan? Saya benar-benar penasaran.” Klien yang satu ini memang terlihat sangat antusias. Aku pun mengiyakan untuk bercerita secara lengkap sehabis urusan bisnisnya kelar.

Terima kasih, sebelumnya, buat oknum yang pertama sekali mencetuskan ide merger budaya ini karena sebenarnya, banyak manfaat yang perusahaan rasakan. Beberapa diantaranya akan saya terangkan di bawah ini. Kalau perlu, pakai lampu neon dan senter. Biar semuanya jelas.

Pertama: perusahaan jadi memiliki image “merakyat”. Selain banyak warga pribumi yang jadi karyawan tetap, produk dan jasa andalan juga berkualitas baik serta harganya terjangkau. Pokoknya, sesuai dengan kebutuhan masyarakat kecil.

Kedua: magnet perusahaan kuat terhadap investor asing. Banyak orang Eropa yang bekerja di cabang Qatar sehingga masukan dam cerita pada investor asing jadi berlimpah. Apalagi, rata-rata mereka nyaman hidup di sini. Itu keuntungan penting, tentunya.

Ketiga: lambat laun, perusahaan menjadi percontohan bisnis yang demokratis. Warga pribumi merasa dihargai karena bebas menjalankan adat-istiadatnya, sementara orang asing bisa mengembangkan investasinya dengan aman tenteram.

Yap! Itu beberapa detail yang saya ceritakan pada klien Korea kami. Mudah-mudahan, dia puas dan tertarik untuk merintis hal serupa di negaranya. Kalau ada yang ingin full edition ceritanya, maaf belum bisa dirilis dalam waktu dekat. Sabar ya….

* * *

Ini hari Minggu. Nicole—pacar saya yang asli Perancis—ingin berdiam saja di rumah dinas. Aku pun menghabiskan banyak waktu untuk chatting dengan keluarga dan teman di Indonesia, sedikit curhat-curhatan dengan mereka tentang keseharianku disini.

Besok, liburan Nicole sudah berakhir dan dia harus segera pulang. Sore ini pun kami habiskan dengan karaoke-an di bar setempat. Setelah puas ber-karaoke gila-gilaan, kami makan malam berdua di atap kantor yang romantis sambil mengenang lagi semua kejadian aneh selama dua minggu terakhir selama dia di sini.

Nicole pernah mencoba memakai abaya dan berjalan-jalan di pasar tradisional. Dia juga bercerita tentang obrolannya yang tak pernah bisa nyambung dengan pengemis di pinggir jalan, karena bahasanya yang berbeda jauh, bagai langit dan bumi. Aku ikutan nimbrung dengan berbagi pengalamanku sembunyi-sembunyi makan sandwich di ruang kerja (berhubung ruanganku di bagian timur dan warga pribumi masih menganggap sandwich itu ada unsur haramnya).

Dari sekian banyak pengalaman lucu, ada satu kenangan yang sangat berkesan. Saat itu gairah sudah menuntut haknya, namun kami tidak boleh berciuman di depan ruang kerjaku. Kami pun berlari-lari ke garis perbatasan timur dan barat kantor demi melunasi hutang ciuman. Ya, tidak penting sekali, memang!

Ada yang pernah memberi saran, “Kenapa harus lari-lari sampai keringatan? Bermesraan saja di toilet.”

Wow! Jujur saja, saran itu sangat menantang. Mungkin suatu saat nanti bisa terwujud dan mudah-mudahan tidak ada kamera CCTV di dalam toilet bagian timur. Andaikan saja ada kamera CCTV di dalamnya, siapa takut????!


Disadur dari:

fiksimini RT @Nathan_Arieezz: “Tiap kali mau berciuman, kami harus pindah ke bagian barat gedung.. Maklum, budayanya berbeda.”

Selasa, 17 Agustus 2010

DIALOG



by : Bintang Pradipta

Aku sudah di atas tiang. Gugupku sudah mulai berkurang. Rinduku pada tiang pun telah terobati.

“Selamat pagi, Bendera Tua!” dia menyapaku lebih dulu.

Aku menyunggingkan senyum yang paling manis. “Selamat pagi, Tiang! Apa kabarmu?”

“Seperti yang dapat kau lihat. Aku masih kokoh seperti 24 tahun yang lalu, ketika pertama kali didirikan. Bagaimana denganmu?”

“Ah, aku sudah tua. Meski lebih muda darimu, tapi usia 18 tahun untuk sebuah bendera, rasanya sudah cukup ekstrem,” aku menghembuskan nafas dengan malas.

“Ah, kau berlebihan. Lagipula, kau pun jarang digunakan, bukan? Kau hanya dikibarkan untuk momen sepenting HUT RI saja. Harusnya kau lebih awet dariku yang tiap hari tertimpa sinar matahari, diguyur hujan, dan diterpa angin.”

“Justru itu. Karena terlalu sering disimpan, aku jadi lemah. Untuk bertahan di tiang ini saja, aku harus mati-matian berpegangan pada tubuhmu. Bagaimana nanti kalau ada angin kencang?” aku mulai khawatir. Benar saja, bagaimana bila angin kencang tiba-tiba menerpa?

“Aku yang akan menahanmu dengan taliku. Tenang saja.” Ah, jawabannya membuatku sedikit lega.

“Omong-omong, kau rindu tidak padaku? Kau tahu kan, aku rindu sekali bercengkrama denganmu!” kugelitik talinya, namun dia hanya diam.

Tiang menatapku dengan penuh jijik, kemudian berkata, “Rasanya tak perlu aku rindu padamu, bukan? Tiap Senin, aku bertemu dengan bendera yang lebih muda dan belum berjamur sepertimu. Hahahahaha.” Tawanya mirip iblis dan jawabannya sungguh membuatku sedih.

“Kau kejam sekali berkata seperti itu!” bibirku bergetar hebat. Dadaku ngilu.

Tiang segera mengubah ekspresi wajahnya. Wajahnya terlihat khawatir. “Hai, aku hanya bercanda, teman.”

Bah! Semudah itu dia berkata ‘hanya bercanda’?

“Candamu telah menyakiti perasaanku. Harusnya kau tahu, betapa rindunya aku padamu! Lalu, kau menyakiti perasaanku dengan perkataanmu yang sama sekali tidak lucu itu!” Air mataku mulai berlinang.

“Bendera Tua, aku hanya bercanda. Tidak ada maksud untuk menyakitimu sa—“

Angin tiba-tiba bertiup kencang. Tiang bergoyang sementara aku mati-matian memegang tubuhnya. Jantungku berdegup semakin kencang. Aku takut.

“Tolong, Tiang!” aku terus memegangnya dan dia juga menahanku dengan susah payah agar aku tak jatuh. Tapi aku sudah tak kuat lagi. Tanganku terasa perih. Akhirnya aku menyerah pada hujaman angin yang bertubi-tubi.

Tubuhku melayang dipermainkan angin, lalu tersangkut di ranting pohon yang merobekkan tubuhku.

Sebelum semuanya menjadi gelap, sayup-sayup kudengar murid-murid di bawah menertawaiku.



disadur dari:

fiksimini RT @har_fit: PERJUANGAN. Angin bertiup kencang. Bendera mati2an memegang tiang.

Jumat, 06 Agustus 2010

Surat Tua berwarna Pink (part II)

by : Elna Sinaga


Di belahan pulau lain, ribuan kilometer jaraknya dari Pantai Krakal, seorang wanita tercenung di kamarnya. Masih mengenakan seragam berwarna biru dengan logo PT Garuda dan lencana bertuliskan namanya di dada kanan. Sosoknya mungil, rambutnya panjang hitam tergerai, dengan tahi lalat di sudut dagu kirinya


Ia duduk di sofa hijau pupus di pinggir jendela kamarnya sambil memegang sebuah album kenangan. Matanya menatap ke luar, membayangkan sesosok lelaki yang sedang tersenyum di foto, membayangkan suaranya yang berat, membayangkan alisnya yang bertaut, membayangkan matanya yang tajam seperti elang. Doddy Erlangga, Libra, 23 September 1984. Bahkan setelah dua tahun berlalu dia belum melupakan setiap detail lelaki itu. Sosoknya membius pikirannya, memenuhi otaknya, menemani hari harinya yang sepi. Mengapa cinta sesakit ini?


*6 tahun yang lalu*


Dengan seragam putih abu abu, mengenakan papan segi lima di dada, kaus kaki berlainan warna, dan rambut dikepang lima, Intan berlari ngos-ngosan.


"Gawat, aku terlambat!"


Sekuat tenaga Intan berlari ke arah gerbang kampusnya.


"Cepat cepat cepaattt!!" teriakan senior membahana. "Sudah terlambat, jalan masih kayak bekicot. Dasar lambaaaaann".


"Siapa nama kamu?"


"Dewi Indah Sari, kak."


"Kamu?"


"Doddy Erlangga, kak."


"Dan kamu?"


"Intan Ayu, kak."


"Kalian bertiga baris di ujung berjejer!! Kalian pantas dihukum karena terlambat! Untuk yang lain masuk ke ruangan kelas sekarang!"


Semakin siang matahari semakin panas membakar kulit. Mereka bertiga masih berdiri berjejer di tengah lapangan. Mengusir rasa bosan dan panas yang tidak bersahabat, Doddy mulai membuka diri. Perlahan namun pasti mereka mulai saling bercerita dan entah mengapa, setelah 5 jam berlalu mereka seperti sudah kenal lama saja. Dan entah mengapa pula, Intan mulai menyukai sosok Doddy tanpa pernah tahu bahwa Dewi pun merasakan hal yang sama terhadap Doddy. Ada ikatan rasa di antara mereka bertiga dan yang menyadari itu hanya salah satu diantara mereka.


Semenjak perkenalan yang aneh itu Dewi menjadi sahabat dekatnya. Dewi tahu perasaan Intan terhadap Doddy dan hanya kepada Dewi lah Intan sanggup bercerita.


"Dia pintar Wi, baik lagi. Beruntung sekali wanita yang dicintai Doddy."


"Tan, kalau kamu memang suka sama dia, coba ajak dia jalan. Makan kek, nonton kek, apa aja asal bisa sama dia."


"Aku bukan tipe wanita kayak gitu Wi."


Dewi hanya terdiam, entah bingung entah senang dengan pernyataan Intan barusan.

Dewi sendiri juga bingung dengan perasaannya. Dia berada di posisi yang sangat sulit. Entah harus egois, entah harus bagaimana. Namun dalam hati kecilnya, dia tidak rela Doddy menjadi milik Intan. Jika Doddy menceritakan perasaannya kepada Intan, hati Dewi pasti sakit, seperti ditusuk ribuan jarum rasanya. Dan jika Intan menceritakan perasaanya tentang Doddy kepada Dewi, ingin rasanya Dewi menjerit, walau hanya dalam hati. Mengapa tak ada satupun yang mengerti bahwa ia pun mengalami perasaan yang sama. Mengapa harus dia yang mengalami keadaan seperti ini??


Dan keadaan itu berlanjut sampai hari itu. 23 Juli 2005. Hari ulang tahun Intan. Dari jauh-jauh hari, Doddy sudah menyiapkan sebuah baju berwarna pink. Baju itu indah, agak panjang sampai ke pinggang, lengkap dengan potongan leher berbentuk huruf V dan renda renda di sekelilingnya. Bagian dada agak melipit dan ada tali di bagian atas pinggangnya. Pasti Intan terlihat cantik mengenakan baju ini. Ia pun menitipkan kado itu kepada Dewi.


"Wi, tolong kasih kado ini untuk Intan ya." Dewi hanya mengangguk. Sungguh Dewi benci akan hal ini. Bahkan saat aku berulang tahun pun Doddy tidak ingat, pikirnya. Perlahan lahan ia buka kado itu. Dan air matanya meleleh. Gelombang kesedihan, kecemburuan, dan sakit hati melanda hatinya. Baju itu sungguh cantik. Ia pun mengambil baju itu, perlahan lahan ia kenakan. Sangat pas! Tak sengaja ia melihat sebuah kartu terselip. Ia membuka dan membacanya, ternyata isinya sebuah puisi.


Kamu adalah pagiku, alasanku untuk merapikan tempat tidurku.

Kamu adalah matahariku, menghangatkan hati dan pikiranku.

Kamu adalah semangatku, torehan pena di diktat literaturku

Kamu adalah malamku, harap cemasku adakah kamu dalam mimpiku

Kamu adalah kamu, satu tempat istimewa di hatiku selalu kamu

Dewi pun terduduk di sudut kamarnya. Ribuan air mata jatuh tanpa bisa ditahannya. Ia tersengal, hatinya sesak. Mengapa cinta sesakit ini?


Dan entah setan darimana yang membisikinya, ia merobek-robek kartu itu sampai potongan-potongan kecil tak terlihat.


Kemudian perlahan ia bangkit menulis di sebuah kertas berwarna pink.


"Ribuan kata tak sanggup terucap hanya doa yang mampu aku lantunkan. Selamat Ulang tahun sahabatku" ==Dewi==

Ia membungkus kembali kado itu. Besok akan diserahkannya kepada Intan. Semua mengalir begitu saja, setelah empat tahun mereka lewati bertiga. Tapi tali misteri masih terus membuntuti langkah mereka, mengikat dan tak putus jua.


Sampai pada pesta perpisahan di Pantai Krakal itu. Intan menautkan kedua jarinya dan dengan lirih berkata "Kami memang tidak jodoh Wi, habis wisuda aku harus pulang ke Bandung. Biarlah dia jadi kenangan saja di hatiku ini. Jadi cintaku yang tak berbalas." Dewi hanya diam. Diam seribu bahasa.


***

Api unggun itu membara, menghangatkan hati Intan. Demikian juga dengan petikan gitar di seberang sana. Menghangatkan hatinya dan cintanya. Malam itu Intan mengenakan baju hadiah dari Dewi. Berwarna pink, warna yang sesungguhnya tidak disukainya.


Intan merasa diawasi Doddy sepanjang malam itu. Setiap dia melihat ke arahnya, pandangan mereka selalu bertabrakan. Jantungnya berdegup kencang tanpa alasan. Tiba tiba ia melihat Doddy berdiri dan berjalan ke arahnya. Tangannya mendadak sedingin es. Kini, sosok itu menjulang di depannya dan memberikan tangannya untuk membantunya berdiri.


"Jalan-jalan yuk.." suara berat itu menyapa.


Intan menyambut tangan itu, dan tiba tiba tubuhnya seperti dialiri listrik. Tangan itu sungguh sangat hangat. Mereka berdua pun berjalan ke arah pantai. Baju yang Intan kenakan melambai-lambai diterpa angin malam. Lalu, mereka berdua duduk berdampingan di tepi pantai. Dalam diam.


"Kamu cantik pakai baju itu.."


Intan tertegun, dia tak menyangka Doddy akan berkata seperti itu. Doddy menyukai warna pink, dan dia tidak suka warna pink. Mengapa dia tak pernah tahu akan hal ini? Intan hanya membisu. Dia makin merasa bahwa ini adalah pertanda nyata : Doddy bukan jodohnya. Deburan ombak yang menyapu pantai menyadarkannya akan kenyataan pahit.


Dan disinilah aku. Di kamarku, di rumahku dan masih tetap memikirkan dia. Apakah suratku yang kutitipkan pada Dewi telah dibacanya? Mengapa tak ada kabar darinya? Mengapa tak kunjung ada sebait pesan di nomor HP barunya yang ia cantumkan di surat itu. Dan mengapa sesudah dua tahun pun bayangannya masih memenuhi otakku.


Mungkin dialah kekasih imajinasiku. Dalam kebisingan atau tanpa kebisingan. Dia dan hanya dia.


(BERSAMBUNG)


Disadur dari:
fiksimini RT @driveAnji: KEKASIH IMAJINER. Dia, hanya dia, selalu dia. Tanpa kebisingan.