Protected by Copyscape Unique Content Check

Senin, 06 September 2010

Bisnis Merger Budaya

by: Keenan Timotius

Lama-lama, aku jadi kesal bekerja di kantor ini. Tiap kali aku dan pacarku hendak berciuman, kami harus menyingkir dulu ke bagian barat gedung karena di bagian timur ada larangan bermesraan di depan umum. Budayanya berbeda.

Sebagai karyawan asing, wajar kalau awalnya aku merasa aneh dengan segala kebiasaan di sini. Kadang-kadang, aku merasa seperti berada di kembaran Tembok Berlin. Tapi, di tengah krisis global seperti sekarang, punya pekerjaan saja sudah bersyukur sekali. Jadi, aku tidak punya pilihan. Suka tidak suka, semua rutinitas ini harus kuikuti.

* * *

Perusahaan ini, pada awalnya, bergerak di bidang konsultasi psikologi. Tapi, lambat laun, bisnis garapannya berkembang dan mulai merambah ke berbagai bidang lain. Salah satunya adalah healthy and sport—bidang favoritku, divisi di mana aku menjabat sebagai manager operasionalnya.

Sebelum go public, pemilik perusahaan ini adalah sebuah keluarga Arab. Saat ini, sahamnya sudah tersebar di tiga pihak: sang keluarga Arab, pemerintah Yordania, dan investor dari Eropa. Karena faktor itulah, perusahaan ini bisa melebarkan sayapnya ke seluruh dunia.

Salah satu cabangnya terletak di Qatar, negara tetangga Yordania. Di negara inilah, aku bekerja. Sesekali, terbit rasa rindu pada Indonesia—tanah air mataku. Juga, aku sering kangen pada kehangatan cewek-cewek Perancis yang sempat kunikmati waktu aku kuliah di sana. Ah, bandelnya kenangan hidupku ini!

Perlu anda ketahui juga, di Qatar inilah satu-satunya cabang yang memiliki rekor merger terbesar. Berbagai perusahaan lokal yang tidak sanggup lagi bertahan menghadapi badai krisis akhirnya pasrah di-merger dengan perusahaanku. Nah, berhubung perusahaan lokal pekerjanya adalah warga pribumi, sedangkan karyawan asing mendominasi perusahaanku, maka dicetuskanlah program MERGER BUDAYA.

Program itu meliputi bermacam hal seputar adat-istiadat dan kebiasaan masing-masing. Karena ada dua kelompok budaya besar di perusahaanku, akhirnya disepakati bahwa secara budaya, bagian timur bangunan kantor menjadi milik pekerja pribumi dan karyawan asing menguasai bagian baratnya.

Yang menderita adalah orang asing yang ruang kerjanya berada di bagian timur dan warga pribumi yang berdinas di bagian barat. Mau tidak mau, tiap kali ingin melampiaskan kebiasaannya, mereka harus singgah sebentar ke wilayah kedaulatan budaya masing-masing. Contoh nyatanya adalah saya ini!

Tiap tiga bulan, ada jatah pesiar untuk manager operasional di semua divisi perusahaan. Pacarku—Nicole—biasanya datang saat liburan musim panas dan kami akan berlibur bersama. Lama pesiar berbeda-beda, tergantung pencapaian target pekerjaan. Nah, saat ini, aku kebagian jatah pesiar yang lebih singkat dari manager yang lain. Karena itu, Nicole memutuskan untuk ikut pulang bersamaku ke kompleks perusahaan sambil menghabiskan liburannya di sana.

Kembali ke soal penyekatan budaya tadi. Umumnya, yang sering terheran-heran melihat suasana di kantor kami (bahkan beberapa sampai amnesia, lupa tujuannya datang ke kantor) adalah para tamu bisnis, baik dari daerah Arab dan sekitarnya, maupun dari Eropa—sehingga aula kompleks perusahaan selalu jadi tempat favorit untuk berdiskusi alih-alih di kantor.

Selain itu, tiap hari Jumat, bagian timur akan putih kemilau oleh baju koko, sedangkan tiap hari Minggu pagi, bagian barat akan berantakan gara-gara pesta semalam kesal (suntuk sedang cuti).

Lain lagi soal pakaian dinas. Karyawan di bagian barat wajib memakai jas dan dasi, sementara di bagian timur, karyawannya lebih sering memakai kemeja lengan pendek yang berpadu dengan slayer di leher.

Suasana di meja makan lebih aneh lagi. Bagi orang barat, punya teman kidal itu sudah biasa. Tapi bagi orang timur, makan dengan tangan kiri itu kurang sopan walaupun memakai sendok. Oh ya! Di meja makan tidak ada pemisahan. Jadi siapapun bebas duduk di mana pun.

Beberapa jam yang lalu, seorang klien bisnis baru dari Korea sedang berkunjung. Sama seperti para tamu pendahulunya, dia hampir saja terserang autisme akut begitu menyaksikan suasana di kantor. Lalu, di sela-sela waktunya, dia menyempatkan bertanya padaku,

“Sudah lama kondisinya seperti ini?”

Aku menjawab, “Sudah, Pak.”

“Apakah ada manfaatnya buat kemajuan perusahaan? Saya benar-benar penasaran.” Klien yang satu ini memang terlihat sangat antusias. Aku pun mengiyakan untuk bercerita secara lengkap sehabis urusan bisnisnya kelar.

Terima kasih, sebelumnya, buat oknum yang pertama sekali mencetuskan ide merger budaya ini karena sebenarnya, banyak manfaat yang perusahaan rasakan. Beberapa diantaranya akan saya terangkan di bawah ini. Kalau perlu, pakai lampu neon dan senter. Biar semuanya jelas.

Pertama: perusahaan jadi memiliki image “merakyat”. Selain banyak warga pribumi yang jadi karyawan tetap, produk dan jasa andalan juga berkualitas baik serta harganya terjangkau. Pokoknya, sesuai dengan kebutuhan masyarakat kecil.

Kedua: magnet perusahaan kuat terhadap investor asing. Banyak orang Eropa yang bekerja di cabang Qatar sehingga masukan dam cerita pada investor asing jadi berlimpah. Apalagi, rata-rata mereka nyaman hidup di sini. Itu keuntungan penting, tentunya.

Ketiga: lambat laun, perusahaan menjadi percontohan bisnis yang demokratis. Warga pribumi merasa dihargai karena bebas menjalankan adat-istiadatnya, sementara orang asing bisa mengembangkan investasinya dengan aman tenteram.

Yap! Itu beberapa detail yang saya ceritakan pada klien Korea kami. Mudah-mudahan, dia puas dan tertarik untuk merintis hal serupa di negaranya. Kalau ada yang ingin full edition ceritanya, maaf belum bisa dirilis dalam waktu dekat. Sabar ya….

* * *

Ini hari Minggu. Nicole—pacar saya yang asli Perancis—ingin berdiam saja di rumah dinas. Aku pun menghabiskan banyak waktu untuk chatting dengan keluarga dan teman di Indonesia, sedikit curhat-curhatan dengan mereka tentang keseharianku disini.

Besok, liburan Nicole sudah berakhir dan dia harus segera pulang. Sore ini pun kami habiskan dengan karaoke-an di bar setempat. Setelah puas ber-karaoke gila-gilaan, kami makan malam berdua di atap kantor yang romantis sambil mengenang lagi semua kejadian aneh selama dua minggu terakhir selama dia di sini.

Nicole pernah mencoba memakai abaya dan berjalan-jalan di pasar tradisional. Dia juga bercerita tentang obrolannya yang tak pernah bisa nyambung dengan pengemis di pinggir jalan, karena bahasanya yang berbeda jauh, bagai langit dan bumi. Aku ikutan nimbrung dengan berbagi pengalamanku sembunyi-sembunyi makan sandwich di ruang kerja (berhubung ruanganku di bagian timur dan warga pribumi masih menganggap sandwich itu ada unsur haramnya).

Dari sekian banyak pengalaman lucu, ada satu kenangan yang sangat berkesan. Saat itu gairah sudah menuntut haknya, namun kami tidak boleh berciuman di depan ruang kerjaku. Kami pun berlari-lari ke garis perbatasan timur dan barat kantor demi melunasi hutang ciuman. Ya, tidak penting sekali, memang!

Ada yang pernah memberi saran, “Kenapa harus lari-lari sampai keringatan? Bermesraan saja di toilet.”

Wow! Jujur saja, saran itu sangat menantang. Mungkin suatu saat nanti bisa terwujud dan mudah-mudahan tidak ada kamera CCTV di dalam toilet bagian timur. Andaikan saja ada kamera CCTV di dalamnya, siapa takut????!


Disadur dari:

fiksimini RT @Nathan_Arieezz: “Tiap kali mau berciuman, kami harus pindah ke bagian barat gedung.. Maklum, budayanya berbeda.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar