Protected by Copyscape Unique Content Check

Jumat, 06 Agustus 2010

Surat Tua berwarna Pink (part II)

by : Elna Sinaga


Di belahan pulau lain, ribuan kilometer jaraknya dari Pantai Krakal, seorang wanita tercenung di kamarnya. Masih mengenakan seragam berwarna biru dengan logo PT Garuda dan lencana bertuliskan namanya di dada kanan. Sosoknya mungil, rambutnya panjang hitam tergerai, dengan tahi lalat di sudut dagu kirinya


Ia duduk di sofa hijau pupus di pinggir jendela kamarnya sambil memegang sebuah album kenangan. Matanya menatap ke luar, membayangkan sesosok lelaki yang sedang tersenyum di foto, membayangkan suaranya yang berat, membayangkan alisnya yang bertaut, membayangkan matanya yang tajam seperti elang. Doddy Erlangga, Libra, 23 September 1984. Bahkan setelah dua tahun berlalu dia belum melupakan setiap detail lelaki itu. Sosoknya membius pikirannya, memenuhi otaknya, menemani hari harinya yang sepi. Mengapa cinta sesakit ini?


*6 tahun yang lalu*


Dengan seragam putih abu abu, mengenakan papan segi lima di dada, kaus kaki berlainan warna, dan rambut dikepang lima, Intan berlari ngos-ngosan.


"Gawat, aku terlambat!"


Sekuat tenaga Intan berlari ke arah gerbang kampusnya.


"Cepat cepat cepaattt!!" teriakan senior membahana. "Sudah terlambat, jalan masih kayak bekicot. Dasar lambaaaaann".


"Siapa nama kamu?"


"Dewi Indah Sari, kak."


"Kamu?"


"Doddy Erlangga, kak."


"Dan kamu?"


"Intan Ayu, kak."


"Kalian bertiga baris di ujung berjejer!! Kalian pantas dihukum karena terlambat! Untuk yang lain masuk ke ruangan kelas sekarang!"


Semakin siang matahari semakin panas membakar kulit. Mereka bertiga masih berdiri berjejer di tengah lapangan. Mengusir rasa bosan dan panas yang tidak bersahabat, Doddy mulai membuka diri. Perlahan namun pasti mereka mulai saling bercerita dan entah mengapa, setelah 5 jam berlalu mereka seperti sudah kenal lama saja. Dan entah mengapa pula, Intan mulai menyukai sosok Doddy tanpa pernah tahu bahwa Dewi pun merasakan hal yang sama terhadap Doddy. Ada ikatan rasa di antara mereka bertiga dan yang menyadari itu hanya salah satu diantara mereka.


Semenjak perkenalan yang aneh itu Dewi menjadi sahabat dekatnya. Dewi tahu perasaan Intan terhadap Doddy dan hanya kepada Dewi lah Intan sanggup bercerita.


"Dia pintar Wi, baik lagi. Beruntung sekali wanita yang dicintai Doddy."


"Tan, kalau kamu memang suka sama dia, coba ajak dia jalan. Makan kek, nonton kek, apa aja asal bisa sama dia."


"Aku bukan tipe wanita kayak gitu Wi."


Dewi hanya terdiam, entah bingung entah senang dengan pernyataan Intan barusan.

Dewi sendiri juga bingung dengan perasaannya. Dia berada di posisi yang sangat sulit. Entah harus egois, entah harus bagaimana. Namun dalam hati kecilnya, dia tidak rela Doddy menjadi milik Intan. Jika Doddy menceritakan perasaannya kepada Intan, hati Dewi pasti sakit, seperti ditusuk ribuan jarum rasanya. Dan jika Intan menceritakan perasaanya tentang Doddy kepada Dewi, ingin rasanya Dewi menjerit, walau hanya dalam hati. Mengapa tak ada satupun yang mengerti bahwa ia pun mengalami perasaan yang sama. Mengapa harus dia yang mengalami keadaan seperti ini??


Dan keadaan itu berlanjut sampai hari itu. 23 Juli 2005. Hari ulang tahun Intan. Dari jauh-jauh hari, Doddy sudah menyiapkan sebuah baju berwarna pink. Baju itu indah, agak panjang sampai ke pinggang, lengkap dengan potongan leher berbentuk huruf V dan renda renda di sekelilingnya. Bagian dada agak melipit dan ada tali di bagian atas pinggangnya. Pasti Intan terlihat cantik mengenakan baju ini. Ia pun menitipkan kado itu kepada Dewi.


"Wi, tolong kasih kado ini untuk Intan ya." Dewi hanya mengangguk. Sungguh Dewi benci akan hal ini. Bahkan saat aku berulang tahun pun Doddy tidak ingat, pikirnya. Perlahan lahan ia buka kado itu. Dan air matanya meleleh. Gelombang kesedihan, kecemburuan, dan sakit hati melanda hatinya. Baju itu sungguh cantik. Ia pun mengambil baju itu, perlahan lahan ia kenakan. Sangat pas! Tak sengaja ia melihat sebuah kartu terselip. Ia membuka dan membacanya, ternyata isinya sebuah puisi.


Kamu adalah pagiku, alasanku untuk merapikan tempat tidurku.

Kamu adalah matahariku, menghangatkan hati dan pikiranku.

Kamu adalah semangatku, torehan pena di diktat literaturku

Kamu adalah malamku, harap cemasku adakah kamu dalam mimpiku

Kamu adalah kamu, satu tempat istimewa di hatiku selalu kamu

Dewi pun terduduk di sudut kamarnya. Ribuan air mata jatuh tanpa bisa ditahannya. Ia tersengal, hatinya sesak. Mengapa cinta sesakit ini?


Dan entah setan darimana yang membisikinya, ia merobek-robek kartu itu sampai potongan-potongan kecil tak terlihat.


Kemudian perlahan ia bangkit menulis di sebuah kertas berwarna pink.


"Ribuan kata tak sanggup terucap hanya doa yang mampu aku lantunkan. Selamat Ulang tahun sahabatku" ==Dewi==

Ia membungkus kembali kado itu. Besok akan diserahkannya kepada Intan. Semua mengalir begitu saja, setelah empat tahun mereka lewati bertiga. Tapi tali misteri masih terus membuntuti langkah mereka, mengikat dan tak putus jua.


Sampai pada pesta perpisahan di Pantai Krakal itu. Intan menautkan kedua jarinya dan dengan lirih berkata "Kami memang tidak jodoh Wi, habis wisuda aku harus pulang ke Bandung. Biarlah dia jadi kenangan saja di hatiku ini. Jadi cintaku yang tak berbalas." Dewi hanya diam. Diam seribu bahasa.


***

Api unggun itu membara, menghangatkan hati Intan. Demikian juga dengan petikan gitar di seberang sana. Menghangatkan hatinya dan cintanya. Malam itu Intan mengenakan baju hadiah dari Dewi. Berwarna pink, warna yang sesungguhnya tidak disukainya.


Intan merasa diawasi Doddy sepanjang malam itu. Setiap dia melihat ke arahnya, pandangan mereka selalu bertabrakan. Jantungnya berdegup kencang tanpa alasan. Tiba tiba ia melihat Doddy berdiri dan berjalan ke arahnya. Tangannya mendadak sedingin es. Kini, sosok itu menjulang di depannya dan memberikan tangannya untuk membantunya berdiri.


"Jalan-jalan yuk.." suara berat itu menyapa.


Intan menyambut tangan itu, dan tiba tiba tubuhnya seperti dialiri listrik. Tangan itu sungguh sangat hangat. Mereka berdua pun berjalan ke arah pantai. Baju yang Intan kenakan melambai-lambai diterpa angin malam. Lalu, mereka berdua duduk berdampingan di tepi pantai. Dalam diam.


"Kamu cantik pakai baju itu.."


Intan tertegun, dia tak menyangka Doddy akan berkata seperti itu. Doddy menyukai warna pink, dan dia tidak suka warna pink. Mengapa dia tak pernah tahu akan hal ini? Intan hanya membisu. Dia makin merasa bahwa ini adalah pertanda nyata : Doddy bukan jodohnya. Deburan ombak yang menyapu pantai menyadarkannya akan kenyataan pahit.


Dan disinilah aku. Di kamarku, di rumahku dan masih tetap memikirkan dia. Apakah suratku yang kutitipkan pada Dewi telah dibacanya? Mengapa tak ada kabar darinya? Mengapa tak kunjung ada sebait pesan di nomor HP barunya yang ia cantumkan di surat itu. Dan mengapa sesudah dua tahun pun bayangannya masih memenuhi otakku.


Mungkin dialah kekasih imajinasiku. Dalam kebisingan atau tanpa kebisingan. Dia dan hanya dia.


(BERSAMBUNG)


Disadur dari:
fiksimini RT @driveAnji: KEKASIH IMAJINER. Dia, hanya dia, selalu dia. Tanpa kebisingan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar