Protected by Copyscape Unique Content Check

Jumat, 06 Agustus 2010

SATAN-1



By : Keenan Timotius

Jangan tanya kenapa judul di atas bisa kayak gitu. Percaya deh, gue awalnya juga bingung kayak kalian – para pembaca – tapi jawaban yang gue dapat hanya sebuah kantong plastik usang berisi segudang sachet dampratan dan sehelai kain tipis bekas pembalut luka memar.
***

Tokoh utamanya bernama Anita dan saat cerita ini ditulis, dia masih tidur diatas gundukan permata. Ya! Gundukan permata dalam arti sebenarnya. Bukan sebuah konotasi, apalagi hiperbola.
Sebenarnya
gue nggak diizinkan buat nulis detail cerita yang macam-macam. Tapi gue harus berani menyuarakan kebenaran, walau resikonya gede. Dan ini adalah sekelumit dari kebenaran itu.
Intinya, majikan gue ini adalah seorang sosialita setahun yang lalu. Dia begitu bangga dengan statusnya. Hidupnya serba wah! Belanja hanya di mall tertentu, sukanya pakai barang-barang branded, gaulnya juga sama orang-orang yang sepantaran saja. Bener-bener ajaib!!
Kami ketemu pertama kali sewaktu dia ingin dibuatkan memoar hidup. Dan saat itu gue yang ditunjuk jadi penulis memoarnya. Awalnya semua berjalan lancar dan terkesan cukup positif. Setidaknya sampai musibah itu datang.
***

ROMA, 3.01 PM -Day 1-
Gue udah lama tahu kalau Anita itu lesbian. Bahkan sebelum gue nge-buntutin dia seperti sekarang. Kali ini dia check in ke hotel bersama seorang pria. Udah berubah orientasikah sampai nyewa gigolo???
Sejam, 2 jam, 4 jam, gue terus menunggu. Sudah 3 gelas coklat panas yang gue tenggak. Perut mulai panas.... Alamat bahaya kalau diterusin minum.
Tak lama kemudian, akhirnya mereka keluar. Kali ini dengan beberapa orang lagi. Beberapa diantaranya menggotong kantongan plastik hitam ukuran jumbo yang sejujurnya membuat gue penasaran dengan isinya.
Ketika mobil Anita mulai keluar dari parkiran, hanya ada 1 hal yang terlintas di pikiran gue : PEMBUNUHAN.
***

8.55 PM
Hanggar pesawat. Hmmm... Tampilan luarnya memang aneh, tapi begitu masuk ke dalam, keadaannya lebih absurd lagi. Sekedar info, isi hanggar ini 100% adalah pesawat-pesawat kertas berukuran SUPER JUMBO. Gue hanya bisa melongo heran. Untuk apa semua pesawat ini dibuat dengan ukuran mirip pesawat asli, sampai-sampai butuh hanggar sungguhan buat menyimpannya?
Di tengah-tengah hanggar ada satu ruangan medium yang tampak seperti ruangan make-up. Di belakangnya ada 1 panggung raksasa – yang sepertinya sudah 3 abad nggak pernah disapu – lengkap dengan terpal warna-warni. Dua puluh menit yang lalu, mobil Anita dan gerombolannya baru aja ninggalin tempat ini. Tapi setelah 15 menit lebih meneliti, gue nggak bisa menemukan satu pun petunjuk waras atau jejak mereka tadi.. Ya Tuhan, TEMPAT APA SIH INI???!!
***

Bandung, sebulan yang lalu
“Kamu tahu apa itu obsesi, Timo?”
“Aku rasa definisi kita tentang obsesi masih tetap bertolak belakang, Om..”
Dia diam sebentar, lalu tiba-tiba tawanya pecah. Sedetik kemudian, dia udah tenang lagi. Tetap dengan sorot tajam matanya.
“Tidak ada yang salah ketika menyimpan obsesi. Berencana dengan matang sambil menunggu waktu yang tepat, ya kan Timo?”
Yang kedengaran selanjutnya hanya suara dentang garpu dan mulut gue yang lagi ngunyah. Gue sudah bisa menebak lanjutan omongannya.
“Kamu tahu kalau aku sudah lama menunggu saat seperti ini. Aku bosan menyaksikan mimpi-mimpiku tiap malam dipenuhi oleh langkah gemulainya, lekuk tubuhnya, suara seksinya, kerlingan matanya, AH!! Ini sudah saatnya, Timo. Harus.”
Pelan-pelan gue ngelirik ke Om Ardi. Harus diakui, di umurnya sekarang, dia masih punya kharisma dan wawasan yang kuat. Belum lagi ngeliat fisiknya yang kekar. Tapi gue tetap pesimis dengan rencana gila si kepala rumah tangga ini kepada majikannya sendiri.
Sambil mengelap mulut, gue hanya berujar singkat, “Hati-hati dengan hatinya, Om. Ada banyak bom waktu disana. Salah langkah, Om bakal langsung meledak.”
***

ROMA, 1.07 AM -Day 2-
Gue baru kelar mantengin daftar pemilik hanggar pesawat beserta perusahaan penyedia propertinya. Sejauh ini masih lancar, termasuk mendapatkan 2 kata yang sekarang tertulis di notes gue: Air Fance.

“Bonjour, monsieur.”*
“Bonjour. Je voudrais réserver une place sur un vol Rome-Paris le mercredi 28, vers 10h le matin au nom de Timotius.”**
“Vous avez dit Timotius. T-I-M-O-T-I-U-S?”***
“C’est ça.”****

Sambil nungguin proses pemesanan tiket kelar, gue mengamati sekeliling. Jalan sudah sunyi banget dan hawa di kota ini sungguh menyiksa. Dinginnya bukan kepalang.

“Merci beaucoup, monsieur Timotius. Bonnes vacances.”*****
“Je vous en prie, mademoiselle. Bonnes vacances à vous aussi..”^*

Sehabis nutup gagang telepon, gue senyum-senyum sendiri. Tujuan berikutnya: Musée des Beaux-Arts de la ville de Paris.^**
Di kejauhan, tanpa gue sadari, sebuah bayangan bergerak ngikutin gue.

-bersambung-

*Selamat pagi/siang, Tuan
** Selamat pagi/siang. Saya mau pesan 1 tempat di penerbangan Roma-Paris hari Jumat tanggal 28, jam 10 pagi atas nama Timotius
*** Anda tadi bilang Timotius. T-I-M-O-T-I-U-S?
**** Itu sudah tepat.
***** Terima kasih banyak, Tuan Timotius. Selamat berlibur.
^* Sama-sama, Nona. Selamat berlibur untuk anda juga.
^** Museum Seni Rupa kota Paris



Disadur dari :

fiksimini RT @driveAnji : Lekuk tubuhnya bisa kukira-kira. Hatinya tidak.

1 komentar: