Protected by Copyscape Unique Content Check

Selasa, 13 Juli 2010

SUMPAH

By : Lariza Oky Adisty

Hari ini...

“KEBAKARAAAAN!”

***

Enam bulan lalu, di sebuah kelas.

“Joni! Dari tadi Ibu perhatikan kamu tidur saja di belakang!” hardik Bu Elma. Joni, siswa jangkung dengan rambut jabrik acak-acakan itu hanya menatap kosong ke arah papan tulis sambil menyembunyikan kuap yang tertahan akibat bentakan ganas Bu Elma. “Sekarang, kamu pergi ke kamar mandi dan cuci muka kamu! Saya tidak mau lihat kamu mengantuk lagi!”

Dengan malas, Joni bangkit dari bangku dan melangkah keluar dengan ayunan kaki gontai. Mata Bu Elma nanar mengikuti langkah Joni, disaksikan puluhan pasang mata lain yang menahan napas. “Heran, sudah mau ujian kok masih saja main-main. Ingat ya, kalian semua sudah kelas 3. Harus serius kalau mau lulus! Bilang juga sama si Joni itu!” tutur Bu Elma sebelum melanjutkan pembahasan tentang kalimat majemuk bertingkat.

***

Setelah kelas bubar, Joni dan kawan-kawan akrabnya Rio, Gilang dan Randy menyempatkan diri mampir ke sebuah supermarket merangkap kedai kecil dekat sekolah. “Bangke dah si Elma. Bacot,” cetus Joni sambil merengut kesal, teringat sikap Bu Elma yang menegurnya setelah tertidur tadi. Yang membuat Joni kesal bukan karena dia malu, tapi dia paling benci kalau ada yang mengganggu tidurnya!

“Hahaha, emang diapain lo lay ama si ‘tonggos’?” tanya Rio.

“Sialan! Gue lagi enak-enak tidur, malah dibangunin! Pengen gue cocor tuh giginya,” tukas Joni, jemarinya memutar-mutar punting rokok yang baru dibakar.

“Gue kalo udah begini, yang penting lulus aja dah. Bodo amat mo dapat nilai berapa juga. Bosen, guru-guru itu bukannya makin baik malah makin banyak tingkah.” timpal Gilang. “Gue mah dari awal udah nyesel masuk tuh sekolahan, sejak tau guru-gurunya pada ngehe begitu, tapi mau pindah kagak dikasih. Nasib deh.”

“Apalagi si Dalman noh. Korupsinya kagak nanggung-nanggung! Duit pelantikan ekskul diembat semua ama dia, kuya nggak tuh?”

“Tau! Eh udah gitu ya, anaknya yang di IPA 2, bajunya dikeluar-keluarin kagak ada guru yang protes!” timpal Randy bersemangat lalu melanjutkan “Nih ya, gue dulu pas kelas 1 sekelas sama anaknya yang cewek itu. Nah, waktu itu ada anak kelas gue namanya Lia, baru ngewarnain rambut langsung disidang. Pas anaknya si Dalman kayak gitu, kagak diapa-apain. Ngehe kan tuh!”

“Sama aja bego-nya semua. Gak hanya si Dalman. Elma, Sukri, Nia, pada ngehe semua. Guru-guru kelas 3 gue kirain bakal baik gitu ya, tau-taunya pada ganas semua. Kalo udah kelas tiga, udah sih nyantai aja orang murid-muridnya udah gede juga.” cerocos Gilang panjang lebar.

Joni memperhatikan obrolan ketiga sahabat kentalnya tersebut. Cerita-cerita tersebut sebenarnya bukan hal baru untuknya. Sudah sering ia memperhatikan sekolah yang tidak ubahnya neraka baginya itu. Joni ingat sekali saat Pak Dalman, wakil kepala sekolah merangkap “musuh publik” sekolah, mempermalukan dirinya sebagai kapten tim futsal SMA di upacara bendera, setelah seminggu sebelumnya Joni menyerahkan proposal permohonan dana untuk mengikuti turnamen antar sekolah dan langsung ditolak mentah-mentah. Joni ingat sekali kata-kata Pak Dalman waktu itu: “Saya rasa kegiatan non-akademis seperti futsal hanya akan menghalangi kelancaran studi, jadi sebaiknya kegiatan futsal harap dikurangi. Terutama kaptennya itu, si... Joni! Rambutnya bahkan sudah tidak terurus gara-gara terlalu sibuk mengurusi hal-hal yang tidak penting, dan nilai-nilainya juga berantakan! Janganlah meniru yang seperti itu!” Alangkah geramnya Joni. Ia memang tidak pernah menjadi juara kelas atau mendapat rangking 10 besar di sekolahnya, tapi ia tidak bodoh dan nilai-nilainya pun jauh dari kata ‘berantakan’. Sama sekali tidak ada alasan bagi Pak Dalman untuk mempermalukan dirinya di depan seluruh sekolah. Apalagi ia tahu alasan Pak Dalman menolak itu tidak logis dan tidak adil; Pak Dalman adalah pembimbing ekskul basket di sekolah Joni dan beliau selalu menyetujui proposal permohonan dana yang diajukan oleh pengurus ekskul basket. Guru-guru lain juga setali tiga uang; menganggap bahwa Joni bukanlah seorang siswa yang punya prestasi membanggakan, dan selalu menganggap Joni itu pembangkang karena sering mengkritisi isi pelajaran yang diberikan. Padahal Joni berani mengkritik karena ia sudah memahami materi tersebut lebih dulu. Sayang, guru-guru Joni tak paham akan hal itu. Mereka terlalu tinggi hati untuk mendengarkan suara seorang Joni, dan jadilah Joni menjadi salah satu ‘bandit’ di mata para guru.

Tanpa sadar Joni meremas kaleng kopi instan dalam genggamannya. “Gue janji kalo gue lulus nanti, tuh sekolah bakal gue acak-acak.” gumamnya lirih hingga tak satupun temannya mendengar.

***

Hari ini...

“Joni my maaaaan! Lulus kita, nyeeet!” teriakan Gilang membahana di sepanjang koridor, membuat siswa-siswa lain terhenyak kaget. Joni tak menjawab; ia langsung merangkul sahabatnya itu.

“Gimana nilai? Mantap?” sambung Gilang.

“Lumayanlah, tinggal berharap dapet kampus yang gue mau aja nih,” jawab Joni singkat. Ia sudah mengikuti serangkaian tes masuk perguruan tinggi dan tinggal menunggu pengumuman saja. Kini di tangan Joni pun sudah tergenggam ijazah kelulusan yang lama ia nanti-nantikan.

“Eh Jon, ngumpul sama anak-anak nggak lo?” tanya Gilang sambil membaca pesan singkat di ponselnya.

“Lo duluan aja, nanti gue nyusul.” jawab Joni singkat. Ada sesuatu yang harus dilakukannya. Mewujudkan sumpahnya.

***

Joni duduk di bangku paling belakang ruangan kelasnya sambil mengisap rokok favoritnya. Tangannya menggenggam erat sebuah botol air mineral berisi cairan pekat berbau tajam yang dibelinya di pinggir jalan. Sambil tersenyum, Joni bangkit sambil membuka tutup botol itu. Dengan santai, Joni menuangkan cairan didalamnya ke lantai sampai ludes. Tak ada yang menyadari apa yang sedang terjadi karena semua temannya sudah pulang dan guru-guru sedang berkumpul di lantai dua.

Setelah cairan itu tertuang, Joni menyulut kembali rokok di bibirnya. “Thanks for making these past three years like hell for me, Bastardo,” bisik Joni puas. Kalau hitung-hitungannya tepat, para guru baru akan menyadari perbuatannya dalam 7-10 menit, dimana ia pasti sudah pergi jauh dari sini. Sambil berjalan keluar, ia melemparkan batang rokoknya ke lantai yang tergenang bensin.


Disadur dari:


@fiksimini: RT @lariza_adisty: Lulus ujian, Joni mewujudkan sumpahnya. Membakar sekolah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar